BAB II                                                                                                                                                                    PEMBAHASAAN
2.1 Sejarah Tari  Arja
Tari Arja adalah kesenian tradisional Bali yang merupakan perpaduan antara drama, tari dan musik yang saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan, sehingga menjadi suatu bentuk tontonan yang menyatu. Sehingga Tari Arja disebut juga sebagai dramatari. Dramatari adalah pertunjukan drama yang diungkapkan dalam bentuk gerak tarian serta percakapan (drama tari berdialog) atau nyanyian (drama tari tak berdialog).  Durasi yang panjang, yaitu sekitar 5-6 jam ini tidak menyurutkan niat penonton untuk menyaksikan jalannya cerita hingga penghujung. Wajar saja Dramatari Arja pada jaman itu menjadi tontonan sekaligus hiburan utama masyarakat, mengingat pola hidup masyarakat serta kebiasaan yang dianut tidaklah seperti sekarang.
Menurut I Made Bandem dalam bukunya Ensiklopedia Tari Bali, etimologi kata Arja diduga berasal dari kata “ Reja“ yang mendapat awalan “A” sehingga menjadi kata Areja. Oleh karena kasus pembentukan kata, istilah Areja berubah menjadi Arja yang berarti “sesuatu hal yang mengandung keindahan”. Dan saat ini kata Arja dipergunakan untuk menamakan satu jenis kesenian Bali yang berunsurkan tari, drama dan nyanyian yaitu Tari Arja.
 Arja diduga muncul sekitar tahun 1775-1785 M, pada masa pemerintahan Raja I Dewa Agung Gede Sakti di Puri Klungkung. Tepatnya pada saat menantu beliau, I Gusti Ayu Karangasem mengadakan upacara pembakaran mayat untuk suami dan madunya, yaitu I Dewa Gede Agung Kusamba dan I Gusti Ayu Jambe, yang meninggal ketika membantu menyelesaikan perang saudara antara I Dewa Gede Rai dari Bangli dan I Dewa Agung Gede Oka dari Taman Bali, di sungai Belahan Pane akibat serangan tentara Taman Bali yang salah duga atas kedatangannya.  Upacara pembakaran mayat yang dilakukan besar-besaran itu dihadiri raja-raja dari seluruh Bali dengan membawa seni pertunjukan dari daerahnya masing-masing. Waktu itu untuk pertama kalinya I Dewa Agung Manggis, raja Gianyar dan I Dewa Agung Jambe, raja Badung, memprakarsai pergelaran Arja.
Tari Arja saat itu masih disebut Dadap yang melakonkan Kesayangan limbur, sebuah cerita yang berisikan sindiran terhadap I Gusti Ayu Karangasem. Pohon “dadap” diangap suci oleh masyarakat Bali dan dipakai dalam upacara, misalnya dalam upacra Dewa Yadnya (upacara suci untuk dewa-dewa). Kayu “dadap” juga dipakai untuk membuat pelinggih (tempat suci) para roh leluhur yang diundang menghadiri upacara. Dalam upacara Manusa Yadnya, daun dadap dipakai sebagai “tepung tawa”, lambang pembersih dan keselamatan. Adapun dalam upacara perkawinan, dahan dadap dipakai sebagai alat pemikul hasil bumi, yang merupakan lambang kesuburan, sekaligus dipakai sebagai tiang sanggah (tempat suci yang dipakai untuk pemujaan pada upacara perkawinan). Baris dadap, salah satu jenis Tari Baris sakral yang menggunakan daun dadap sebagai senjata. Begitu pula dengan Wayang Lemah, menggunakan dahan dadap sebagai tiang menggantung benang pengganti kelir. Sejalan dengan ide pertunjukan Wayang Lemah, oleh karena itu Arja juga disebut Dadap, yang mana pertunjukannya dibagi dua kelompok, yakni kelompok kanan dan kelompok kiri. Pembagian kelompok diasosiasikan dengan falsafah baik dan buruk dalam kehidupan masyarakat di Bali. Semua pemeran, baik pria maupun wanita berjongkok pada masing-masing arena, menunggu giliran berperan. Saat itu, Arja tidak memakai instrumen, namun para pelaku berperan sambil menyanyikan tembang lelawasan, sejenis kidung upacara yang ada sekarang.
Membawakan  kesenian Arja merupakan sesuatu yang sangat sulit. Kita dituntut harus bisa berakting, berdialog verbal, berdialog dengan tembang tradisional Bali, menari dan bahkan mengarang syair tembang secara spontan di atas panggung. Di samping itu, seorang penari juga dituntut untuk mengetahui beberapa cerita yang bersumber dari legenda, babad, epos, dan sejarah. Secara tidak langsung hal ini menuntut seorang penari harus menguasai bidang sastra daerah secara cukup dalam. Ada kemungkinan Arja merupakan perkembangan dari Gambuh, sebuah teater klasik Bali yang dianggap sebagai sumber berbagai jenis teater Bali. Dalam sejarah perkembangannya, Arja banyak mengambil pemeran pria dan wanita dari Gambuh. Bentuk gerak yang sangat sukar dalam Gambuh diubah dan disederhanakan guna menggarisbawahi ungkapan seni suara di dalam Arja. Itulah yang menyebabkan bentuk-bentuk gerak tari yang khas dalam Arja tidak terdapat dalam teater lain di Bali. Kendati ada kemungkinan bahwa nama dari wujud gerak tersebut sama dengan wujud gerak dalam Gambuh, namun kualitas dan pelaksanaannya jauh berbeda. Banyak diantara para pelaku yang merasa mengalami kesukaran dalam mempelajari Arja karena Arja lebih mengutamakan keharmonisan antara tembang dan gerak tariannya. Dalam Gambuh, penekanan-penekanan tersebut dapat dipisah-pisahkan. Ada bagian yang ditekankan pada gerak, ada yang ditekankan pada wawankata, dan ada pula yang ditekankan pada nyanyian. Lain halnya dengan Arja, semua aspek tersebut harus harmonis.
Karena arja merupakan suatu tari yang berunsurkan drama maka dalam penampilan harus ada ceri ataupun kisah yang harus dimanikan. Kisah ataupun lakon-lakon tersebut biasanya sangat beragam. Pada umumnya, lakon yang biasanya menjadi cirri khas suatu Tari Arja adalah cerita panji. Tapi seiring dengan perkembangan arja, lakon yang ditampilkan juga bersumber dari luar cerita panji. Berikut ini lakon-lakon yang sering diperankan dalam Tari Arja.


a.       Kisah Panji
Cerita ini mengisahkan kehidupan, percintaan, serta peperangan raja-raja dan kaum bangsawan Kerajaan Jenggala, Kediri, Gegelang, dan lain-lain di Jawa Timur. Di Bali cerita ini disebut Malat. Di dalam pertunjukan Arja, lakon Panji biasanya lebih dikenal dengan lakon Daha-Jenggala, atau lakon Galuh Daha dengan Mantri Jenggala. Lakon-lakon Arja yang tergolong kisah Panji, antara lain, Ponjon, Made Madu Swara, Banda Sura, Pakang Raras, dan lain-lain.

b.      Cerita Rakyat
Di samping kisah Panji, juga mengambil lakon dari cerita rakyat (folk tale) yang sesuai dengan pearjaan, yaitu cerita angker, keramat, atau yang mengandung ilmu hitam dan cara penolakannya. Cerita yang dimaksud, antara lain, Jayaprana, Rare Angon, Basur, dan Japatuan.

c.       Cerita Cina
Kebudayaan Bali banyak menerima pengaruh dari kebudayaan Cina, termasuk cerita Cina yang disebut Sam-Pek Eng-Tay yang kemudian dijadikan lakon Arja. Cerita ini mengisahkan seorang jejaka (Sam-Pek) yang karena kebodohannya gagal merebut hati kekasihnya (Eng-Tay), sehingga ia mati merana. Eng-Tay yang sebenarnya sangat mencintai Sam-Pek, akhirnya menghilang masuk kuburan Sam-Pek.

d.      Mahabharata
Wiracarita Mahabharata lebih dikenal sebagai lakon Wayang Kulit Parwa. Cerita ini diangkat pula sebagai lakon Arja, seperti Senapati Salya dan Perkawinan Bimaniyu (Kapandung Siti Sundari), yang dalam kesusastraan Jawa Kuno cerita ini disebut Gatotkacasraya.

e.       Ramayana
Ramayana, yang merupakan cerita pokok dari Wayang Kulit Ramayana, diangkat juga sebagai lakon Arja.



2.2 Perkembangan Tari Arja
Berpangkal pada Arja Dadap yang muncul di Puri Klungkung, bermuncullah jenis-jenis Arja dengan lakon yang berbeda dalam masyarakat Bali. Sehingga dalam perkembangannya Tari Arja dibagi menjadi 3 tahap perkembangan, yaitu sebagai berikut.
  • Munculnya Arja Doyong yaitu Arja yang dalam pementasannya  tanpa iringan gamelan, dimainkan oleh satu orang.
  • Arja Gaguntangan adalah Arja yang dalam pementasannya  memakai gamelan Gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang.
  • Arja Gede adalah Arja yang dalam pementasannya  yang dibawakan oleh antara 10 sampai 15 pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada sekarang.
Di Singapadu muncul Arja Doyong atas prakarsa tokoh-tokoh Gambuh Singapadu, antara lain Nang Turun dan Cokorda Rai Panji. Penarinya semua laki-laki dengan tata busana sederhana. Mereka menyanyi bersahutan seperti melagukan pantun lagu Melayu dewasa ini. Setelah Arja Doyong ini, muncul Arja yang memakai lakon Pakang Raras di Banjar Tameng Sukawati, yang didukung oleh tokoh-tokoh Legong Kraton dari Sukawati, seperti Dewa Rai Perit yang memerankan tokoh Putri, Anak Agung Raka yang memerankan tokoh Mantri, tokoh Penasar dan sebagainya. Arja Pakang Raras ini diiringi gambelan geguntangan, yang meliputi kendang, ceng-ceng, kajar, guntang, dan suling.
 Dalam perkembangan selanjutnya, muncul lagi Arja di Singapadu yang melakonkan Sam-Pek-Eng-Tay, cerita Cina yang disajikan dalam bentuk tembang. Arja yang sama berkembang juga di Desa Blahbatuh dengan galuh-nya yang terkenal, yaitu I Wayan Purna, dalam membawakan tembang-tembang Slopog. Tidak lama kemudian, Arja berkembang di Desa Kramas, Kabupaten Gianyar. Perkembangan ini ditandai dengan tumbuhnya Arja di Banjar Pelaklagi, dan kehidupannya didukung beberapa seniman ternama, seperti I Karas, Ida Aji Gederan, I Kelebit, dan I Keken. Sekitar 1915-1920 Arja di daerah Bai Tengah mulai populer, dengan munculnya perkumpulan Arja dari Desa Singapadu yang membawakan lakon Jayaprana. Menurut informasi dari seniman-seniman tua di Desa Singapadu, lakon Jayaprana dibawa ke Singapadu oleh pedagang candu dari Desa Liligundi Kabupaten Buleleng. Arja Jayaprana diperkenalkan kepada masyarakat oleh para pemeran seperti I Made Tokolan (Nang Turun) dan I Gusti Ngurah Keceb. Nang Turun mewariskan keahliannya kepada I Wayan Geria dan I Made Keredek, yang menampilkan tokoh-tokoh wanita dalam pengembangan Arja Jayaprana di Singapadu. Tokoh-tokoh tersebut ialah Ni Nyoman Rindi, Ni Made Senun, A.A Rai Tangi, dan Ni Jero Sebita.
Sekitar tahun 1930-an, perkembangan Arja semakin meningkat. Seniman I Made Keredek mulai belajar Arja di Desa Kerambitan (Tabanan), Apua (Bangli), Peliatan Ubud (Gianyar), Kedaton, dan Renon (Denpasar). Karena semakin banyak kelompok masyarakat yang tertarik dengan Arja, munculah Arja Sebunan, yaitu sebuah perkumpulan Arja dari sebuah banjar atau desa adat. Pementasan Arja yang semula didukung beberapa seniman saja, tahun 1970-an mulai didukung seniman dan seniwati dalam jumlah lebih besar, maka disebut Arja Gede (Arja Besar). Menurut almarhum I Made Keredek, di desa Carangsari, Kabupaten Badung, pernah dipentaskan Arja yang mempergunakan 17 tokoh mantri dengan lakon Sayembara Drupadi. Karena mengalami kesukaran dalam penyutradaraan, pertunjukan Arja Gede itu hanya berlangsung tiga jam.
Tahun 1940-an tetap menjadi titik tolak perkembangan Arja di Bali. Tuntutan masyarakat akan perubahan menyebabkan muncul sebuah pertunjukan Arja Gede dengan pelaku-pelaku utama yang diambil dari Arja Sebunan. Tokoh Arja Sebunan yang terpandai dipilih sebagai anggota Arja Gede. Keadaan seperti itu menyebabkan sebutan Arja Gede diganti dengan Arja Bon. Sampai saat ini nama arja Bon masih terpampang dalam ingatan masyarakat Bali, lebih-lebih banyak pendukung kesayangan masyarakat yang berasal dari semua daerah kabupaten di Bali. Karena Arja Bon dilakukan pleh 12 pelaku, Arja itu disebut juga Arja Roras (Arja Dua Belas). Sampai-sampai almarhum I Nyoman Likes, seorang seniman yang selalu bertindak sebagai impresario Arja itu, diberi julukan Bapak Dua Belas. Selain itu, seniman pegongan I Wayan Bangkrik dai Belaluan Denpasar terkenal juga sebagai pembina Arja Roras, khususnya untuk kepentingan amal dan pasar malam yang diadakan pemerintah.
Setelah teater Arja Roras semakin pudar di mayarakat, muncullah grup Arja Telu Aji Siu, tiga seharga seribu rupiah. Sebutan ini sangat populer karena ongkos yang diterima oleh seorang pelaku adalah sebanyak Rp 333,33 (tiga ratus tiga puluh tiga rupiah tiga puluh tiga sen). Kemudian setelah ada perubahan nilai mata uang, Arja Telu Aji Siu diganti dengan nama Arja Ri karena nama pelaku utamanya diawali dengan kata Ri, seperti Ribu, Riuh, Rinun, dan Rideng.
 Sekitar tahun 1968 sistem impresario semakin menonjol di pulau ini, sehingga anggota-anggota Arja Ri bergabung menjadi Arja Candra Metu RRI Denpasar, dengan memilih cerita Pakang Raras sebagai lakon utama. Seniwati, seperti Ni Nyoman Candri, Ni Made Suci, Cok Istri Partini, Monjong, Sadru, dan Monogan, turut pula membintangi Arja ini. Gamelan geguntangan, yang biasanya dipakai untuk mengiringi Arja lainnya, kini diganti gamelan gong, bahkan gender wayang masuk di dalamnya. Menurut keterangan para seniman yang tergabung dalam grup Candra Metu ini, terpakainya dua gamelan tersebut karena mereka mempunyai kebebasan berkreasi.
Namun, akibat digunakan Gong Kebyar adalah mulai tidak lakunya arja sekaa sebunan. Apalagi setelah munculnya drama gong, maka arja yang terlalu melankolis ini dianggap lamban. Akhirnya yang bertahan hanyalah Arja RRI dengan penari-penari kawakan Ribu, Monjong, Sadru, Ida Bagus Buduk, sedangkan tiga yang terakhir sudah meninggal dunia. Nasib arja pun akhirnya bisa ditebak ketika tokoh-tokoh itu sudah mulai tua dan beberapa diantaranya  sudah meninggal sehingga kaderisasi tidak jalan.

Sekilas tentang seorang maestro Arja
Membicarakan para pemain Arja, ada satu pemain Arja yang sangat fenomenal bahkan hingga saat ini setelah ia meninggal pada tanggal 28 April 2007 akibat sakit yang dideritanya. Cara ia memainkan peran sebagai Mantri Buduh sangat berkesan bagi para penonton, sehingga ketika mengetahui ia telah berpulang, para penonton merasa begitu kehilangan seorang maestro Arja. Beliau adalah Ni Ketut Ribuwati yang lebih di kenal dengan Ribu. Lengkingan suaranya yang empuk dari balik langse memanggil dua punakawannya, Punta dan Wijil dengan "Ta, ta, jil" membuat penonton kian antusias. Begitu ia menguak sedikit demi sedikit menampakkan dirinya, para penggemarnya kian girang. Olah vokalnya yang berkarakter berat dan giginya yang putih rata begitu memukau. Penampilannya yang santai dan sering berkacak pinggang menjadi ciri khas penari Arja yang tersohor di seluruh Bali itu. Begitu terkenalnya pragina asal Banjar Negari, Singapadu Tengah, Sukawati, Gianyar ini membuat seni pertunjukan Arja akan terasa hampa tanpa disertai penampilannya. Pada tahun 1970-an, ketika Arja Bon Bali merengkuh masa puncak kejayaannya, trio Ribu, Sadru, dan Monjong selalu dinanti penonton. Sadru sebagai Punta dan Monjong sebagai Kartala bermain begitu kompak dengan Ribu, mengayun penonton lewat alunan tembang dan lawakannya.
Bukan hanya penampilan secara langsung di tengah masyarakat saja yang disukai penonton, bahkan suara dan tembangnya yang dikumandangkan lewat radio pun dinikmati masyarakat Bali. Siaran Arja RRI Denpasar yang dimainkan oleh Ribu dan kawan-kawan menjadi santapan rohani yang saat itu secara rutin disiarkan setiap hari Minggu pagi hingga siang hari. Ketika pesawat radio yang belum begitu banyak ketika itu, menjadikan "Arja audio" itu media hiburan yang sangat berarti. Dengan setia secara berkelompok orang-orang berkumpul mendengarkan tembang dan suara para penari Arja sembari berimajinasi membayangkan penampilan idolanya, termasuk Ribu, di tengah arena pentas sesungguhnya.
Namun kini masyarakat sudah tidak bisa lagi menikmati kepiawaian nya memainkan peran. Setengah usianya ia abdikan untuk mengawal Tari Arja. Menghilangnya Ribu di arena Pentas dan ditambah lagi disusul oleh tokoh-tokoh lain yang telah mendahuluinya telah membuat pamor kesenian Arja semakin redup lain. Ditambah lagi sangat jarang para anak muda mau serius mempelajarai kesenian ini mengingat tuntutan kesenian sangat banyak, yaitu harus bisa menari, bernyanyi, dan berdialog. Arja sekarat tanpa ada yang merawat, Ribu dan kawan-kawan lunglai tak berdaya dan meninggal tanpa begitu banyak yang peduli.

Setelah Tari Arja lama tenggelam, akhirnya sejak abad ke 20, timbulah suatu inovasi baru yang dipelopori oleh Sanggar Printing Mas. Semua pemeran Arja adalah pria yang di sebut Arja Muani. Arja ini lebih mengutamakan ke banyolan (lawakan).  Jadi, pesan moral yang disampaikan dalam arja berubah menjadi lawakan sehingga cerita menjadi tidak penting benar, yang jauh lebih penting adalah banyolan. Hal ini sungguh menghibur masyarakat dan semakin meningkatkan popularitas Tari Arja di kalangan masyarakat.  Sanggar Printing Mas termasuk sukses dengan pembaruan ini. Lakon yang top saat itu seperti ”Siti Markomah”. Selain itu muncul juga grup Coblong Pamor di Denpasar dan grup Akah Canging di Tabanan yang juga menampilkan Arja Muani. Ternyata umur arja muani ini juga tidak panjang. Sanggar Printing Mas membekukan grupnya karena tak tahan melawan pembacakan VCD, sementara grup lainnya juga mulai ditinggalkan penonton karena lawakannya mengarah ke vulgar dan terjadi pengulangan sehingga membuat penonton bosan.
Namun setelah beberapa kali gagal akhirnya ada upaya lain yang muncul, sesuatu yang lebih serius dan jauh dari kesan menjual banyolan, yaitu dengan memberikan nuansa baru pada Arja, yakni dengan menambah jalan cerita yang penuh ditampilkan dalam pementasan arja. Ini dilakukan oleh Geria Olah Kreativitas Seni (GEOKS) Singapadu pimpinan Prof. Dr. I Wayan Dibia. Sudah dua garapannya yang diciptakan. Pertama lewat cerita ”Ketemu Ring Tampaksiring”, berdasarkan cerita pendek berbahasa Bali karya I Made Sanggra, dan yang baru saja dipentaskan adalah ”Prabu Adhipusengara”. Yang terakhir ini adalah adaptasi dari kisah teater klasik Eropa yang begitu legendaris, Oedipus Sang Raja. Walaupun mengambil cerita yang berbeda dari biasanya, tetapi kreasi GEOKS ini tetap setia kepada pakem-pakem arja, baik pola keluarnya penari (pepeson), agem tari, tembang, dan bahkan penokohannya. Tidak ada yang berubah sama sekali. Hanya cerita yang menjadi ”asing”, tidak ditemukan dalam kisah-kisah Panji sebagaimana ciri khas cerita arja.
Dari perkembangan selama ini dapat dikatakan bahwa Arja masih sangat populer di masyarakat Bali, seperti dapat dilihat pada kemaunan masyarakat untuk berbondong-bondong meramaikan festival yang diadakan setiap tahun hingga saat ini. Secara sepintas maka dapat dikatakan bahwa Arja di Bali masih tersebar di banyak wilayah, seperti Bangli, Klungkung, Gianyar, Amlapura, Badung, Tabanan, Jembrana, hingga Singaraja. Pertunjukkan Arja sendiri makin berkembang, dari even biasa hingga even berskala besar seperti Pesta Kesenian Bali (PRKB).

2.2.1 Penokohan Dalam Tari Arja
Dalam perkembangannya Arja mengenal semacam penyutradaraan. Tokoh yang menjadi pengarah ini seringkali juga merupakan  pengajar tari, tembang dan gamelan, selain pengarang tembang yang akan digunakan. Pada umumnya ia akan mengarang dan menyusun tembang itu sesuai yang diinginkan menurut lakon dan jalan ceritra yang akan dipentaskan.
Dalam penokohan Tari Arja, dikenal ada 12  pemeran tokoh dalam tari tersebut yang harus ada dalam setiap pementasannya walaupun cerita yang dimainkan berbeda-beda. Tokoh-tokoh tersebut menjadi tokoh-tokoh pokok yang tidak bisa dihilang dalam suatu pemetasan Tari Arja. Tokoh tersebut memiliki watak berbeda-beda sehingga mereka memiliki cirri khas tersendiri baik dari segi penampilan sampai dengan gerak-gerik mereka. Hal ini yang yang sering sekali memberi hiburan yang lebih untuk masyarakat yang menontonnya. Sehingga dalam Tari Arja tokoh-tokoh tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu golongan baik dan golongan buruk. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya.
a.       Condong                     : Merupakan seorang dayang galuh. Dia merupakan tokoh yang  
  keluar paling pertama.
b.      Galuh                          : Merupakan seorang putri raja. Dia merupakan pemeran utama
dalam setiap cerita yang dientaskan. Dia memiliki sifat-sifat layaknya seorang putri. Seperti lemah lembut, anggun, baik hati, dan sangat cantik.
c.       Desak rai                     : Merupakan dayang dari Liku ( Putri Buduh ).

d.      Liku                             : Merupakan seorang putri raja. Dia bersaudara dengan Galuh.
Hanya saja dia tidak memiliki sifat sepertinya. Dia memiliki watak yang keras dan terkadang menunjukkan sifat seperti putri yang gila. Sehingga dia disebut juga sebagai putri buduh. Dalam pementasannya, likulah yang paling ditunggu penampilannya, karena penampilannya yang sering membawa humor, seperti pakainnya yang norak dan kelakuan yang lucu. Sehingga sangat menghibur penonton.
e.       Limbur                        : Merupakan seorang permaisuri. Kadang dalam salah satu cerita
yang dipentaskan, dia juga menjadi ibu dari Galuh.
f.       Mantra manis              : Adalah seorang anak muda yang tampan atau putra. Dia sama
halnya seperti galuh. Dia juga merupakan pemeran utama dan memiliki sifat layaknya seorang pangeran, seperti bijaksana, gagah berani, dan baik hati.
g.      Punta Manis                : Merupakan seorang parekan (dayang) dari Mantri Manis.
h.      Wijil /Kartala Manis    : Merupakan seorang parekan (dayang) dari Mantri Manis
i.        Mantra buduh             : Merupakan seorang putra. Tapi berbeda halnya dengan Mantri
Manis. Mantri Buduh memiliki sifat yang bertolak belakang dengan Mantri Manis, yaitu keras, amburadul, dan sama seperti Liku yang memperlihatkan sikap seperti orang yang gila sehingga disebut dengan Mabtri Buduh.
j.        Punta Buduh               : Merupakan seorang parekan (dayang) dari Mantri Buduh.
k.      Wijil/Kartala Buduh    : Merupakan seorang parekan (dayang) dari Mantri Buduh.
l.        Begawan                     :Merupakan seorang pendeta atau orang suci yang akan memimpin
suatu upacara atau ritual.

2.3 Fungsi Tari Arja
Menurut fungsinya Arja digolongkan ke dalam kelompok Tari Balih-balihan. Tari Balihan-balihan merupakan tari yang berfungsi sebagai pertunjukan dan hiburan. Tari ini biasanya dipentaskan di Jaba Pura (di luar pura ). Sebagai suatu bentuk teater Arja dipengaruhi oleh Gambuh dan mempunyai uger-uger atau pola yang mencerminkan zaman Puri.
Arja menyajikan ceritra kerajaan dan perwatakannya sangat diperngaruhi oleh adanya kasta. Arja selain berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat, arja juga sebagai Tari Keagamaan atau tari yang sering dipentaskan dalam upacara keagamaan, kemudian juga berkembang untuk kepentingan amal, hiburan di pasar malam dan kepentingan lainnya.
Sebagai suatu pertunjukan Arja mempunyai makna juga untuk pendidikan. Biasanya masyarakat sesudah menonton Arja berhari-hari akan menirukan nyanyian dan lelucon yang ditampilkan oleh kelompok yang baru saja mereka lihat. Gerakan-gerakan lucu atau ungkapan tentang kejadian-kejadian yang menggelitik akan mereka ulangi dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian Arja merupakan suatu medua komunikasi yang sangat ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan.

2.4 Musik Iringan Tari Arja
Musik iringan dalam Tari Arja mengalami juga mengalami perkembangan dari masa kemasa. Dari perkembangan ini juga membedakan perkembangan tari arja menjadi 3 tahap. Pada tahap pertama disebut dengan Arja Doyong, dimana Arja ini dalam pementasannya tidak diiringi dengan gamelan, tapi hanya diiringi dengan lantunan tembang lelawasan. Selain itu Arja juga menampilkan seni suara yang bertangga nada slendro/pelog menjadi tembang yang sangat merdu dan menarik, sedangkan sebagai pendukung dan penagasan ceritera dilakukan melalui monolog dan dialog. Perkembangan tahap kedua yaitu Arja yang diiringi dengan geguntangan.


2.4.1 Gamelan Geguntangan
. Gamelan ini adalah pengiring pertunjukan dramatari Arja yang diperkirakan muncul pada permulaan abad XX. Gamelan Geguntangan adalah barungan gamelan yang termasuk dalam barungan gamelan golongan  baru dimana didalam barungan ini sudah terdapat instrumen kendang yang memiliki peranan penting dan pembendaharaan pukulan kendang yang lebih dominan. Gamelan ini juga disebut sebagai gamelan Arja atau Paarjaan karena sering dipergunakan sebagai pengiring pertunjukan dramatari Arja. Arja yang lebih mengutamakan tembang dan melodrama, maka diperlukan musik pengiring yang suaranya tidak terlalu keras, sehingga tidak sampai mengurangi keindahan lagu-lagu vokal yang dinyanyikan para penari. Melibatkan antara 10 sampai 12 orang penabuh, gamelan ini termasuk barungan kecil.

a.      Fungsi Geguntangan
Geguntangan secara umum memiliki dua fungsi, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus.
1)      Fungsi Umum
Fungsi umum dari pada gambelan geguntangan sangat banyak. Seperti sekarang gambelan geguntangan banyak mengiringi kidung-kidung interaktif contohnya yang ada di Bali TV dan juga seperti di Pura-Pura dipakai untuk Dharmagita yaitu mengiringi pesantian dengan pupuh-pupuh Sekar Alit yang hampir mirip dengan arja atau sering disebut dengan arja duduk dengan tanpa tarian. Dan ada juga gambelan geguntangan sering diiringi dengan pementasan Barong landung seperti yang ada di Desa Abuan.
2)      Fungsi Khusus
Gambelan geguntangan mempunyai andil yang sangat besar di dalam tugasnya sebagai iringan dalam pementasan Drama tari arja. Ini berarti bahwa gambelan geguntangan adalah bagian dari Dramatari Arja yakni sebagai iringan. Gambelan geguntangan disini adalah yang berfungsi sebagai gambelan iringan tari.
Geguntangan adalah suatu barungan yang ditentukan oleh adanya 2 buah instrumen yang sama yaitu instrumen guntang dan kedua instrumen tersebut mempunyai tugas dan fungsi berlainan, yaitu pertama, guntang alit atau pemegang mat, bernada tinggi. Kedua guntang kempur berfungsi sebagai kempur atau penanda akhir suatu bagian lagu, yang bernada lebih rendah dari guntang alit. Pukulan guntang kempur lebih jarang yaitu empat kali pukulan alit sama dengan satu kali pukulan kempur. Di samping itu guntang bila dipukul tidak menyuarakan nada tertentu seperti instrumen-instrumen lainnya, baik termasuk laras pelog maupun selendro. Sebab dalam barungan gamblengan geguntangan melodi dipegang oleh suling, sedangkan guntang sebagai pemegang mat dan penanda akhir suatu bagian lagu.
Meskipun Guntang tidak mendukung nada tertentu, getaran suaranya yang empuk dan lembut memberikan suasana yang khas baik kepada barungan geguntangan itu sendiri maupun pementasan tari Arjanya. Terutama pada saat instrumen-instrumen lainnya dihentikan sesaat, dan dalam suasana pementasan sedih atau sentimential, maka suara guntang memberi irama sahdu.
Posisi memukul guntang adalah dengan bersila dan memangkunya. Tangan kanan memegang panggul, sedang telapak tangan kiri menempel pada penampang buku ruas sebelah kiri tepat pada lubang tadi.

b.   Instrumen dalam Geguntangan
Gambelan geguntangan bukan saja terdapat dua buah guntang melainkan terdapat pula instrumen lain, diantaranya sebagai berikut.
·         Kendang
Kendang bali berbentuk truncated/bulat panjang dan memakai hourblass atau pakelit . kendang itu dibuat dari kayu nangka , jati , atau seseh yang dibungkus dengan kulit pada kedua ujung dan dicancang dengan jangat. Fungsi kendang adalah sebagai pemurba irama , mengatur cepat lambat dan perubahan dynamio.  Instrumen kendang ada 2 yaitu kendang Wadon dengan ukuran panjang 57cm, garis tengah muka kiri 10  cm dan garis tengah muka kanan 12,5 cm. Kendang lanang dengan ukuran panjang 40 cm, garis tengah muka kiri 9,5 cm dan garis tengah muka kanan 11,5 cm
·         Gong pulu
Gong pulu  berfungsi sebagai sebagai gong dan bermain imbalan dengan tawa-tawa.


·         Guntang
Guntang ada dua yaitu guntang alit dan guntang kempur. Bahan untuk guntang adalah bambu “petung” yang agak besar, lebih besar dari ukuran terbesar bambu untuk membuat gerantang Joged Bungbung.
Guntang kempur :
panjang                                          =  67 cm
lebar                                              = 15,5 cm
panjang senar                                = 51 cm
panjang lidah                                 = 6 cm
lubang di bawah lidah, panjang    = 4 cm dan
lebar                                              = 3 cm
Guntang alit        :
panjang                              = 4cm
lebar                                  = 8 cm
lubang di muka kiri           = 2,5 cm
panjang senar                    = 32 cm
panjang lidah                     = 6cm dengan lubang di bawahnya 2,5 x 1,5 cm

·         Klenang
Klenang bermain imbalan/alternating dengan instrument guntang. Klenang merupakan pembawa mat yang pukulannya selang seling dengan guntang alit. Bahannya kerrawang mempunyai ukuran :
-                Tinggi moncol = 2cm
-                Lebar mua       = 4cm
-                Lebar daun      = 5 cm
·         Krenet
Pukulan krenet mngikuti pukulan kendang.

·         Cenceng  
Cengceng berfungsi sebagai memperkaya ritme. Instrumen ini berbentuk lempengan bundar dibuat dari kerawang dan dipasang di atas sebuah kayu segi empat yang berukuran :
-        Panjang           = 32 cm
-        Lebar               = 15 cm
·         Tawa-tawa
Tawa-tawa bermain imbalan dengan gong pulu. bahannya kerawang dengan ukuran yaitu :
-                Tinggi moncol = 2,5 cm
-                Lebar mua       = 11 cm
-                Lebar daun      = 7 cm
·         Kajar
Kajar berfungsi sebagai penambah kekayaan ritme. Instrumen ini berbentuk moncol bahannya dari kerawang dengan ukuran yaitu :
-                Tinggi moncol = 1 cm
-                 Lebar mua       = 8 cm
-                Lebar daun      = 8 cm
·         Suling
Suling merupakan sebuah instrument dalam karawitan Bali, suling berasal dari dua suku kata yaitu Su yang dalam bahasa Bali berarti baik (luwih) dan Ling yang berarti tangis atau suara (dalam bahasa kawi), jadi Suling dapat diartikan suara tangisan yang baik. Suling dimainkan dengan cara yang sama seperti pada umumnya yaitu menggunakan system tiupan tanpa terputus-putus (ngunyal angkihan). Suling berfungsi untuk mengiringi pupuh yang dinyanyikan. Jika ditinjau dari segi estetika Suling dapat mendukung berbagai adegan yang diperankan, seperti adegan keras, sedih, gembira dan sebagainya, yang dapat mendukung suasana dengan melodi gending dan patet yang dipergunakan. Suling dalam geguntangan berfungsi sebagai pembawa melody karena suling satu-satunya instrument yang fix melody. Instrumen suling terbuat dari bambu yang dapat dibuat dengan berbagai ukuran. Ukuran terbesar yang dipakai pada gambelan geguntangan di Abuan adalah :
-        Panjang           = 41,5 cm
-        Panjang           = 33 cm (ukuran menengah)
-        Panjang           = 24 cm (ukuran kecil)
·         Laras dan tetekep
Laras yang dipakai dalam gamelan geguntangan ialah laras Pelog dan Selendro, sesuai dengan tembang yang dipergunakan. Masalah laras hanya terdapat pada suling, karena suling satu-satunya instrumen yang fix melody di dalam arja. Kemudian menyusul curing dengan laras pelog.
·         Gending- Gending atau Reportoar Lagu dalam Gamelan Geguntangan
Didalam Gamelan Geguntangan ada beberapa gending petegak yang biasa di gunakan untuk mengawali pementasan, di antaranya:
-          Sekar Eled
-          Pangecet Subandar
-          Lenngker
-          Godeg miring
-          Sinom ladrang
-          Selisir
c.       Susunan gending pada saat penyajian
Geguntangan dalam mengiringi Tari Arja memiliki susunan tertentu. Susunan gending pada saat penyajian secara garis besarnya susunan gending / tabuh  di dalam pengarjaan yang diiringi dengan geguntangan dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
-          Tabuh Pereren (petegah) yaitu tabuh pembukaan yang lagunya sering diambil dari lagu-lagu Pegambuhan seperti pengecet sekar elod, pengecet subang, tetamburan, dll.
-          Tabuh pengiring igel pepesan yaitu tabuh yang biasanya disesuaikan dengan tembang-tembang yang dipakai oleh si penari arja. Seperti pangkur diiringi dengan batel, Adri diiringi dengan tabuh Adri, dll.
-          Tabuh pengiring Drama, biasanya tidak banyak berbeda dengan tabuh pengiring pepeson. Hanya saja tabuh pegiring disini mampu menciptakan suasana yang sesuai dengan lakon yang dibawakan, seperti suasana sedih, marah, gembira, dll.
d.      Laras Pada Gambelan Geguntangan
Laras Beberapa tahun yang lalu istilah lpada geguntangan adalah aras yaitu laras pelog maupun laras selendro belum banyak dikenal oleh masyarakat umum bahkan juga oleh kebanyakan penabuh-penabuh gambelan di Bali. Tetapi pande-pande pembuat gambelan, sastrawan-sastrawan di Bali sudah dari dulu mengenal istilah-istilah tersebut dan mengerti betul apa yang dimaksud laras pelog dan selendro. Pada waktu itu banyak orang mempergunakan istilah – istilah “patutan gong” (maksudnya pelog) “patutan gender” (maksudnya selendro) dan “patutan gambang “ (maksudnya pelog saih pitu).
Gambelan dan tembang di Bali bisa disimpulkan mempergunakan 2 macam laras yakni laras pelog dan selendro. Oleh karena gambelan geguntangan pada hakekatnya adalah gmbelan pearjaan (untuk mengiringi drama tari arja) maka laras gambelan inipun selaras dengan tembang yang dipakai dalam arja yakni selendro dan pelog. Masalah laras atau perubahan laras hanya terdapat pada suling , karena suling satu-satunya instrumen fix melody dan flexible di dalam arja.
Seiring perkembangannya, Gamelan Geguntangan kini lebih banyak digunakan untuk mengiringi pesantian misalnya geguritan, pupuh, ataupun jenis tembang yang lainnya. Dengan masuknya gamelan Geguntangan dalam mengiringi pesantian, memberi pengaruh khususnya bagi pecinta geguritan yang ada di Bali. Dengan perkembangan fungsi gamelan Geguntangan secara kualitas saat ini lebih banyak sebagai hiburan atau yang sifatnya presentasi estetis. Ini disebabkan karena pertunjukan gamelan Geguntangan yang digunakan untuk mengiringi pesantian telah di rekam dan disiarkan melalui media elektronik seperti televisi dan radio. Ini menyebabkan semakin banyak masyarakat mengetahui hubungan antara musik iringannya dengan musik vokal atau tembang tersebut disamping sebagai hiburan.
Dewasa ini gamelan Geguntangan amat menarik perhatian masyarakat. Ini  dapat dibuktikan dengan kuantitas gamelan Geguntangan yang tersebar di beberapa wilayah di Bali. Dalam kehidupan masyarakat Bali gamelan ini sedang “naik daun” yang sangat di gemari oleh masyarakat Bali khususnya pengemar pesantian (geguritan,pupuh dan yang lainnya). Hampir disetiap desa atau banjar memiliki gamelan ini.
Pada tahap perkembangan ketiga dari Tari Arja adalah Arja Gede yang diiringi dengan gong kebyar.

2.4.2 Gong Kebyar
Gong Kebyar merupakan satu barungan gembelan yang masuk ke dalam ensamble besar, dimana butuh 35 orang penabuh/ pengrawit saat memainkan ensamble ini. Gong Kebyar memakai laras pelog 5 Nada (3,4,5,7,1) dan kebanyakan instrumennya memiliki 10 sampai 12 nada, yang lagu-lagunya seringkali merupakan penggarapan kembali terhadap bentuk-bentuk (repertoire) tabuh klasik dengan merubah komposisinya, melodi, tempo dan ornamentasi melodi.  Desa yang disebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Desa Jagaraga (Buleleng) yang juga memulai tradisi Tari Kekebyaran.
Jenis instrument yang ada dalam barungan (ensamble) Gong Kebyar beserta fungsi dan teknik memainkannya.

a.       Kendang
Kendang adalah instrument yang terbuat dari kayu yang bentuknya tabung yang memiliki 2 muka yaitu satu diameternya lebih besar dan bagian lainnya yang lebih kecil. Kendang di dalam Gong Kebyar ada Kendang Lanang Wadon dan ada kendang tunggal atau bebarongan. Fungsi kendang di dalam Gong Kebyar adalah sebagai pemurba irama, sebagai penghubung bagian lagu, membuat angsel-angsel dan mengendalikan irama gending. Cara-cara memainkan kendang adalah milpil, batu-batu, gagulet dan cadang runtuh.

b.      Terompong
Terompong adalah salah satu instrument yang ada di Gong Kebyar, terdiri dari dua bagian yaitu daerah yang di pukul berbentuk pencon yang berjumblah 10 pencon, dan tungguhnya yang terbuat dari kayu biasanya diukir atau lelengisan (yang tidak di  ukir). Fungsi instrument terompong adalah memainkan melodi pokok, memulai lagu lelambatan dan membuat fareasi dan memperjelas melodi. Teknik memainkan instrument terompong adalah ngeluluk, neliti, nyele, ngembat, ngempyung, ngembat, nyintud, nyilih asih nyekati, ngumad, nguluin nerumpuk, ngoret,
dan ngerot.

c.       Giying atau ugal
Giying atau ugal adalah salah satu instrument yang ada dalam barungan Gong Kebyar. Ugal terdiri dari dua bagian yaitu daerah yang dipukul berbentuk bilah dan tungguhnya yang terbuat dari kayu yang diukir atau lelengisan. Fungsi dari ugal atau giying adalah memulai gending, membawakan melodi gending dan menyambung atau menghubungkan ruas-ruas lagu. Teknik memainkan ugal atau giying ini adalah ngoret, ngerot, netdet, ngecek dan neliti.

d.      Pemade
Pemade adalah instrument yang ada dalam barungan gambelan Gong Kebyar yang dimainkan dengan polos dan sangsih. Pemade juga terdiri dari dua bagian yaitu daerah yang di pukul berbentuk bilah dan tungguhnya terbuat dari kayu yang diukir atau lelengisan. Fungsi dari pemade adalah memberikan angsel-angsel, membuat jalinan motif-motif tertentu dan mengisi rongga-rongga antara penyahcah dan jublag. Teknik memainkan pemade adalah ngubit, norot, nyekati, gegulet, beburu, oncang-oncangan, ngoret, ngerot, ngantung milpil, netdet nyogcag dan asu nuntun saji.

e.       Kantil
Kantil adalah instrument yang ada dalam barungan gambelan Gong Kebyar yang dimainkan dengan polos dan sangsih. Fungsi, teknik permainan dalam kantil dan pemade sama, hanya yang menjadi perbedaan adalah ukuran baik bilah atau tungguh kantil ukurannya lebih kecil.

f.       Reong
Reong adalah satu instrument dalam barungan gambelan Gong Kebyar. Reong juga terdiri dari dua bagian yaitu daerah di pukul yang berbentuk pencon dan tungguhnya yang terbuat dari kayu yang diukir maupun lelengisan. Fungsi dari reong adalah memberikan angsel-angsel, membuat jalinan motif-motif tertentu dan bisa juga menghubungkan lagu. Teknik memainkan reong diantaranya adalah norot oncang-oncangan, ngubit, gegulet, berburu, nelutur, asu anuntun saji,dan memanjing.

g.      Penyahcah
Penyahcah adalah instrument yang ada dalam barungan gambelan Gong Kebyar. Penyahcah juga terdiri dari dua bagian yaitu daerah yang di pukul berbentuk bilah dan tungguhnya terbuat dari kayu yang diukir atau lelengisan. Fungsi dari penyahcah adalah melipat gandakan pukulan jublag dan menjadikan pukulan lagu yang ajeg. Teknik memainkan penyahcah adalah neliti.

h.      Jublag
Jublag adalah instrument yang ada dalam barungan gambelan Gong Kebyar. Jublag juga terdiri dari dua bagian yaitu daerah yang di pukul berbentuk bilah dan tungguhnya terbuat dari kayu yang diukir atau lelengisan. Fungsi dari jublag adalah menentukan jatuhnya pukulan jegog. Teknik memainkan jublag adalah neliti, nyelah dan ngempur.

i.        Jegogan
Jegogan adalah instrument yang ada dalam barungan gambelan Gong Kebyar. Jegog juga terdiri dari dua bagian yaitu daerah yang di pukul berbentuk bilah dan tungguhnya terbuat dari kayu yang diukir atau lelengisan. Fungsi dari jegogan adalah menandai lagu mencapai satu phrase (kalimat) dan menentukan jatuhnya gong atau kempur. Teknik memainkan jegogan adalah nyelah.

j.        Kempur
Kempur adalah salah satu instrument dalam Gong Kebyar yang berbentuk pencon. Fungsi dari kempur untuk menandakan akan jatuhnya pukulan gong.

k.      Gong
Gong adalah salah satu instrument dalam Gong Kebyar yang berbentuk pencon. Fungsi dari gong adalah menandakan selesainya satu lagu atau gending dan menjadi tanda peralihan lagu atau gending.

l.        Suling
Suling adalah instrument dalam Gong Kebyar yang terbuat dari bambu yang di beri lubang, umumnya enam lubang yang menghasilkan nada sesuai dengan standar nada pada instrument lain dalam barungan Gong Kebyar tersebut. Fungsi dari suling adalah menjadi pemanis dalam lagu. Teknik memainkan suling adalah ngelik, neliti dan wilet.

m.    Kajar
Kajar adalah salah satu instrument yang ada dalam barungan Gong Kebyar serta berbentuk pencon. Fungsi dari kajar adalah menentukan cepat lambatnya lagu atau gending.

n.      Kecek
Kecek adalah salah satu instrument yang ada dalam barungan Gong Kebyar. Kecek berbentuk pangkon atau cembung yang biasa di sebut simbal. Fungsi dari kecek adalah memberikan angsel-angsel atau aksen dalam suatu gending atau lagu.

2.5 Perbendaharaan Tari
   Perbendaharaan gerak tari pada tari arja hampir sama dengan gerakan pada tari bali lainnya. Namun ada beberapa unsur gerakan yang menjadi ciri khas tari arja, diantaranya adalah
a)      Agem : agem pada tari arja dilakukan dengan tangan kiri berada di bawah susu dan tangan kanan sejajar dengan mata.
b)      Mungkah lawang : gerakan membuka langsa sebagai tanda dimulainya suatu tarian.
c)      Bukak lantang :
d)     Metanganan(mau selesai) :
e)      Ngerangki(memulai cerita) :

2.6 Tata Rias Tari
Tata rias tari arja dapat dilihat dari tata rias masing-masing tokoh.  Dalam tari arja ada beberapa tokoh utama yaitu Galuh, Condong, Limbur, Liku, Desak Rai, Mantri Manis, Mantri Buduh, Punta, dan Kartala. Disini kami akan menguraikan apa saja tata rias yang digunakan pada masing-masing tokoh tersebut.

a.       Galuh (Putri Manis)
Tata rias yang digunakan oleh tokoh Galuh adalah rias-riasan yang cantik. Pada bagian dahi tokoh Galuh menggunakan tata rias sarinata, alisnya medon intaran yang terlihat manis. Diantara alisnya memakai tata rias cundang dala, dan di bawah cundang dala diisi bulatan kecil berwarna putih dari pamor sebagai lambang mata dewa siwa. Pada pelipis tokoh Galuh juga diisi tiga buah bulatan kecil berwarna putih dari pamor yang melambangkan tri murti. Pada bagian caping tokoh Galuh memakai tata rias caling kidang.

b.      Condong
Tata rias yang digunakan oleh tokoh Condong adalah rias-riasan yang cantik sama seperti tokoh Galuh. Pada bagian dahi tokoh Condong menggunakan tata rias sarinata, alisnya medon intaran yang terlihat manis. Diantara alisnya memakai tata rias cundang dala, dan di bawah cundang dala diisi bulatan kecil berwarna putih dari pamor sebagai lambang mata dewa siwa. Pada pelipis tokoh Condong juga diisi tiga buah bulatan kecil berwarna putih dari pamor yang melambangkan tri murti. Pada bagian caping tokoh Condong memakai tata rias caling kidang. Perbedaan antara Condong, Limbur, dan Galuh adalah pada kostum yang digunakan.

c.       Limbur
Tata rias yang digunakan oleh tokoh Limbur adalah rias-riasan yang cantik sama seperti tokoh Galuh. Pada bagian dahi tokoh Limbur menggunakan tata rias sarinata, alisnya medon intaran yang terlihat manis. Diantara alisnya memakai tata rias cundang dala, dan di bawah cundang dala diisi bulatan kecil berwarna putih dari pamor sebagai lambang mata dewa siwa. Pada pelipis tokoh Limbur juga diisi tiga buah bulatan kecil berwarna putih dari pamor yang melambangkan tri murti. Pada bagian caping  tokoh Limbur memakai tata rias caling kidang. Perbedaan antara Limbur, Condong dan Galuh adalah pada kostum yang digunakan.

d.      Liku
Tata rias yang digunakan tokoh Liku adalah riasan yang berkesan menunjukkan perilaku yang tidak normal (abnormal). Pada dahi tokoh Liku menggunakan sarinata, alisnya medon intaran. Diantara alisnya memakai tata rias cundang dala, dibawah cundang dala diisi bulatan kecil berwarna putih dari pamor sebagai lambang mata dewa siwa. Pada pelipis tokoh Liku juga diisi tiga buah bulatan kecil berwarna putih dari pamor yang melambangkan tri murti. Dibagian atas dan bawah matanya diisi bulatan-bulatan kecil kurang lebih 5 bulatan. Selain dibagian atas dan bawah mata, pada bagian pipi juga diisi bulatan kecil berwarna putih berbentuk lingkaran. Pada bagian caping tokoh liku menggunakan tata rias caling kidang.

e.       Desak Rai
Tata rias yang digunakan tokoh Desak Rai adalah riasan yang berkesan menunjukkan perilaku yang tidak normal (abnormal) karena Desak Rai adalah parekan dari Liku. Pada dahi tokoh Desak Rai menggunakan sarinata, alisnya medon intaran. Diantara alisnya memakai tata rias cundang dala, dibawah cundang dala diisi bulatan kecil berwarna putih dari pamor sebagai lambang mata dewa siwa. Pada pelipis tokoh Desak Rai juga diisi tiga buah bulatan kecil berwarna putih dari pamor yang melambangkan tri murti. Dibagian atas alisnya diisi bulatan-bulatan kecil kurang lebih 5 bulatan. Pada bagian caping tokoh liku menggunakan tata rias caling kidang. Perbedaan tata rias tokoh Liku dan Desak Rai yaitu, pada Desak Rai tidak berisi bulatan kecil di pipinya.

f.       Mantri Manis dan Mantri Buduh
Tata rias yang digunakan Mantri Manis dan Mantri Buduh adalah riasan yang manis. Mulai dari alisnya yang medon intaran, memakai cundang dala diantara alisnya, dibawah cundang dala diisi bulatan kecil berwarna putih dari pamor sebagai lambang mata dewa siwa. Pada pelipis Mantri Manis dan Mantri Buduh diisi tiga bulatan kecil berwarna putih dari pamor yang melambangkan tri murti. Pada capingnya menggunakan tata rias caling kidang. Cuma berbeda perilakunya saja.

g.      Punta Manis dan Punta Buduh
Tata rias yang digunakan tokoh Punta adalah riasan yang keras (kasar). Tata rias yang digunakan yaitu kumisnya besar, alisnya besar, dibagian pelipis berisi bulatan putih dari pamor sebesar ibu jari, dan juga memakai caping yang besar.

h.      Kartala atau Wijil (Manis dan Buduh)
Tata rias yang digunakan tokoh Kartala adalah kebalikan dari tata rias punta yaitu memakai kumis yang lebih kecil, alis yang kecil, memakai caping yang lebih kecil dan manis dari punta, dibagian pelipis berisi bulatan putih dari pamor sebesar ibu jari.

2.7 Kostum Tari
Untuk setiap  pemeran dalam Tari Arja, akan menggunakan tata kostum yang berbeda-beda tergantung dari tokoh apa yang diperankan, karena setiap tokoh memiliki karakter yang berbeda. Jadi melalui penataan kostum kita bisa dengan mudah mengenal masing-masing tokoh dalam suatu pementasan Tari Arja. Tapi unsur-unsur tata kostum tersebut sebenarnya hampir sama antara tokoh yang satu dengan yang lain karena unsure kostum tersebut harus selalu ada dalam setiap jenis tari bali, hanya saja ada beberapa bagian dari kostum tersebut yang tidak semua tokoh atau pemeran Tari Arja memakainya. Adapun berikut ini daftar kostum untuk masing-masing tokoh.

a.       Galuh
-          Baju putih lengan panjang
-          Badong (hiasan pada leher)
-          Ankin
-          Tutup dada
-          Ampok-ampok
-          Awir
-          Lamak Tunggal. Lamak merupakan kain persegi panjang untuk menutup bagian muka (dada) dari seorang penari. Lamak terbuat dari selembar kain berbentuk persegi yang dipulas dengan cat emas.
-          Kain lancingan
-          Gelang kana
b.      Condong
-          Baju putih
-          Badong (hiasan pada leher)
-          Ankin
-          Tutup dada
-          Lamak sepasang. Lamak merupaka kain persegi panjang untuk menutup bagian muka (dada) dari seorang penari. Lamak terbuat dari selembar kain yang dipulas dengan cat emas.
-          Kain lancingan
c.       Mantra manis
-          Baju putih
-          Badong (hiasan leher)
-          Tutup dada
-          Saput prada
-          Kain putih dengan lancingan
-          Celana panjang
-          Simping
-          Stewel
-          Gelang kana
-          Keris
-          Tidak memakai bunga telinga
d.      Punta Manis
-          Udeng
-          Badong
-          Saput prada
-          Gelang kana
-          Stewel
-          Baju hitam atau merah
-          Kain putih
-          Saput dengan didalamnya memakai kain putih
-          Simping
-          Keris
-          Celana panjangang
-          Angkeb keris
e.       Punta buduh
-          Udeng
-          Badong
-          Saput prada
-          Gelang kana
-          Baju hitam atau merah
-          Kain putih
-          Saput dengan didalamnya memakai kain putih
-          Simping
-          Keris
-          Celana panjangang
-          Angkeb keris
f.       Kartala atau Wijil manis
-          Udeng
-          Badong
-          Tutup dada
-          Awir
-          Angkeb keris
-          Saput prada
-          Saput putih
-          Kamen putih dengan kancut
-          Celana panjang putih
-          Baju pendek putih
g.      Kartala atau Wijil Buduh
-          Udeng
-          Badong
-          Tutup dada
-          Awir
-          Angkeb keris
-          Saput prada
-          Saput putih
-          Kamen putih dengan kancut
-          Celana panjang putih
-          Baju pendek putih
h.      Liku
-          Kebaya brokat dengan warna yang terang
-          Ankin
-          Kain dengan tidak ada lancingan tapi seperti rok dengan warna yang menor.
-          Baju putih lengan panjang
-          Badong (hiasan pada leher)
-          Ankin
-          Tutup dada
-          Ampok-ampok
-          Awir
-          Lamak Tunggal. Lamak merupaka kain persegi panjang untuk menutup bagian muka (dada) dari seorang penari. Lamak terbuat dari selembar kain yang dipulas dengan cat emas.
-          Kain lancingan
-          Gelang kana
i.        Limbur
-          Badong
-          Ankin
-          Tutup dada
-          Awir
-          Saput prada
-          Kain/kamen
-          Gelang kana

j.        Desak rai
-          Baju putih lengan panjang
-          Badong (hiasan pada leher)
-          Ankin
-          Tutup dada
-          Awir
-          Lamak Tunggal. Lamak merupaka kain persegi panjang untuk menutup bagian muka (dada) dari seorang penari. Lamak terbuat dari selembar kain yang dipulas dengan cat emas.
-          Kain kain lancingan
-          Gelang kana
k.      Begawan atau Pendeta
-          Ketu
-          Jenggot putih
-          Pakai selempang
-          Kain putih
-          Memkai bunga dan daun girang
-          Kamen atau kain putih
-          Celana panjang








BAB III
 PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Dari hasil laporan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, tari Arja merupakan perpaduan antara drama, tari dan musik yang saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan, sehingga menjadi suatu bentuk tontonan yang menyatu. Dimana muncul  sekitar tahun 1775-1785 M, pada masa pemerintahan Raja I Dewa Agung Gede Sakti di Puri Klungkung. Pada saat itu tari ini ditampilakan pada upacara plebon untuk I Dewa Gede Agung Kusamba dan I Gusti Ayu Jambe yang diprakarsai oleh  I Dewa Agung Manggis, raja Gianyar dan I Dewa Agung Jambe, raja Badung. Tari ini mengalami perjalanan yang cukup panjang mulai dari pergantian personil sampai penggantian nama. Secara umum perkembangan tari Arja dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu Arja Doyong (arja yang tidak diiringi dengan gambelan), Arja Geguntangan dan Arja Gong Kebyar. Tari Arja terdiri dari 12 tokoh utama yang harus ada dalam setiap pementasannya, diantaranya Galuh, Condong, Liku, Desak Rai, Limbur, Mantri Manis, Mantri Buduh, Punta Manis, Punta Buduh, Kartala atau Wijil Manis, Kartala atau Wijil Buduh, Begawan atau Pendeta. Dari keseluruhan tokoh tersebut menggunakan kostum dan tata rias yang hampir sama hanya saja ada beberapa komponen yang berbeda antara tokoh yang satu dengan yang lain sehingga setiap tokoh memiliki ciri khas tersendiri.

3.2 Saran
a)      Saran bagi masyarakat
Sebaiknya masyarakat mampu melestarikan Tari Arja sebagai salah satu tari tradisional yang ada di Bali. Apalagi saat ini, eksistensi Tari Arja sudah mulai digantikan oleh hiburan-hiburan budaya barat, terutama bagi para remaja. Mengingat Tari Arja selain sebagai hiburan, juga bermanfaat bagi pendidikan karena selain bisa berlatih menari, kita juga dilatih untuk bisa memainkan suatu peran dan dididik dalam olah vokal, khususnya tembang tradisional.


b)      Saran bagi pemerintah atau badan instansi
Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan perkembangan Tari Arja sebagai salah satu warisan budaya Bali agar tidak tergantikan oleh kebudayaan luar. Sedangkan bagi lembaga pendidikan disarankan agar Tari Arja dapat dimasukkan dalam materi seni budaya. Sehingga siswa dapat mengetahui dan mampu untuk melestarikan budaya Bali khususnya Tari Arja.

3.3       Kritik
Menurut penulis, Tari Arja itu sedikit sulit untuk mainka karena selain dituntut bisa menari, pemain juga dituntut agar bisa menembang dan meainkan suatu peran. Hal itulah yang menyebabakan masyarakat khususnya remaja kurang tertarik untuk ingin mempelajari Tari Arja.