BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki ribuan pulau. Dimana setiap pulau
mempunyai keunikan masing-masing, terutama dari segi
hasil budayanya. Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Kebudayaan
atau budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah
yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi ( budi/akal) yang
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan
akal manusia. Sedangkan dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut dengan culture, yang berasal dari kata latin coleve, yaitu mengolah atau mengerjakan.
(http://bermacaminformasiku.blogspot.com)
Bali merupakan salah satu pulau yang memiliki kebudayaan
yang sangat kental . Pulau yang terletak di sebelah timur pulau Jawa ini, memiliki berbagai
keunikan yang tidak bisa ditemui di pulau lain. Hal yang
paling terkenal dan membuat orang terkagum-kagum akan pulau Bali adalah dari sektor pariwisatanya. Didukung dengan lingkungan indah seperti beberapa pantainya yang memang menjadi daya tarik bagi para
wisatawan. Walau pada kenyataanya,
Bali adalah salah
satu pulau kecil yang ada di Indonesia. Selain
karena sektor pariwisatanya sejak
lama Bali sudah dikenal
masyarakat dunia karena keunikan dan hasil kebudayaan yang dimilikinya dari zaman dahulu kala sampai dengan sekarang. Hasil kebudayaan Bali yang masih ada dan
masih dilestarikan sampai sekarang oleh masyarakat Bali adalah seni tarinya. Kesenian Tari Bali memang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali.
Menurut
pengertiannya tari merupakan sebuah ungkapan perasaan
manusia yang dinyatakan melalui
gerakan-gerakan tubuh manusia.
Dari pengertian tersebut tampak
dengan jelas
bahwa hakekat
daripada sebuah tari adalah
gerak. Sehubungan
dengan hal
tersebut dalam buku
Kamus Umum
Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa
"Tari adalah gerakan
badan (tangan
dan sebagainya)
yang berirama dan biasanya
diiringi dengan bunyi-bunyian (seperi
musik, gamelan)“
(http://senitaridrama.blogspot.com). Sehingga Tari Bali merupakan sebuah
ungkapan perasaan yang dinyatakan melalui gerak-gerakan tubuh yang dijiwai oleh
nilai-nilai budaya Bali . Kecantikan Tari Bali tampak pada gerak-gerakannya
yang abstrak dan indah. Sebagian Tari Bali merupakan tarian bermakna religius.
Tetapi sejak tahun 1950-an seiring dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung
ke pulau Bali maka banyak tarian yang ditarikan diluar prosesi keagamaan dan
telah mengalami banyak modifikasi.
Dari
segi struktur masyarakat, Tari Bali dalam perkembangannya dapat
dibagi menjadi 3 periode, yang pertama pada zaman Pra Hindu yang merupakan
periode masyarakat primitif. Pada zaman ini gerakan tarian masih meniru gerak
alam disekitarnya, seperti gerakan binatang, alunan ombak dan lambaian
pohon-pohon yang tertiup angin. Dalam pementasannya, tarian pada zaman ini
biasanya berfungsi sebagai penolak bala yang disertai dengan penari yang
mengalami trance (kerauhan).
Unsur-unsur tarian tersebut masih terpelihara sampai sekarang.
Yang ke-2 pada
zaman feodal, yang bercirikan elemen-elemen kebudayaan Hindu. Pada zaman ini
terjadi hubungan yang erat dengan kerajaan yang ada di
Bali dan Jawa. Pada zaman feodal, tari-tarian berkembang di
Istana, dipentaskan pada hari-hari penting, dan akhirnya berkembang di masyarakat, sehingga pada saat upacara
agama selalu ditampilkan tari-tarian tersebut berikut gamelan pengiringnya.
Sedangkan yang ke-3 adalah zaman modern, dimana pengaruh kerajaan mulai
berkurang, dan mulailah terciptanya kreasi-kreasi baru oleh seniman-seniman
Bali. Tari kreasi baru ini lebih difungsikan sebagai sarana hiburan bagi
masyarakat. (http://www.Balitoursclub.com)
Selain
itu Tari Bali juga dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Dari segi
fungsinya Tari
Bali dapat dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu, Wali (sakral), Bebali (upacara) dan Balih-Balihan
(hiburan). Tari Wali merupakan jenis
tarian upacara atau tari sakral, ditarikan pada setiap kegiatan upacara adat
dan agama Hindu di Bali. Tari Wali ini
umumnya dipentaskan di halaman tengah Pura (Jeroan) dan tidak akan dipentaskan
pada acara-acara lainnya. Perangkat tari seperti busana, topeng atau juga
barong sangat dikeramatkan oleh warga penyungsungnya serta disimpan di suatu
Pura sehingga dipersyaratkan adanya upacara khusus saat diambil dari tempat
penyimpanannya, saat ditarikan serta di simpan kembali pada tempatnya.Contoh Tari Wali seperti Tari Rejang, Tari Baris, Tari Barong, Tari Sanghyang, Tari Topeng Sidakarya, dan Tari Baris Gede. Tari Bebali merupakan
jenis Tari Bali yang juga digelar pada suatu upacara keagamaan dan umumnya Tari Bali dipentaskan dengan suatu lakon yang berhubungan dengan
pelaksanaan upacara tersebut. Tari Topeng Pajegan, Tari Topeng Panca, Drama Tari Gambuh, Tari Telek dan Wayang adalah jenis Tari Bebali yang paling sering dipentaskan, sebagai pengiring suatu upacara. Tari Bebali biasanya dipentaskan di Jaba Tengah yang merupakan ruang diantara
halaman luar (Jaba Sisi) dengan halaman utama (Jeroan) suatu Pura. Sedangkan Tari
Balih-Balihan merupakan perkembangan dari seni Wali dan Bebali yang ditujukan sebagai sarana hiburan dengan lakon serta kreasi tari
dan tabuh yang lebih bebas. Contoh Tari Balih-Balihan seperti Tari Jogged, Tari Janger, Tari Kecak, dan Tari Kebyar Duduk.
Dari ketiga
kelompok tari tersebut, ada satu jenis Tari Bali yang sangat digemari di
kalangan masyarakat Bali dan masih dilestarikan sampai sekarang. Tari tersebut
adalah Tari Arja. Tari Arja merupakan salah satu jenis dari Tari Bebali. Pada
karya tulis ini akan dibahas mengenai
seluk beluk dari dari Tari Arja.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah dari Tari Arja?
2.
Bagaimana perkembangan Tari Bali dari mulai tercipta
sampai dengan sekarang?
3.
Bagaimana fungsi dari Tari Arja bagi kehidupan
masyarakat?
4.
Bagaimana perbendaharaan atau ragam gerak dalam Tari
Arja?
5.
Bagaimana tata rias dalam Tari Arja?
6.
Bagaimana kostum yang digunakan dalam Tari Arja?
7.
Bagaimana musik yang digunakan dalam Tari Arja ?
1.3 Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui sejarah dari Tari Arja.
2.
Untuk mengetahui perkembangan Tari Bali dari mulai
tercipta sampai dengan sekarang.
3.
Untuk mengetahui fungsi Tari Arja dalam kehidupan
masyarakat.
4.
Untuk mengetahui perbendaharaan atau ragam gerak dalam
Tari Arja.
5.
Untuk mengetahui tata rias dalam Tari Arja.
6.
Untuk mengetahui kostum yang digunakan dalam Tari
Arja.
7.
Untuk mengetahui musik yang digunakan dalam Tari Arja.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat
bagi penulis:
1.
Dapat memperoleh nilai praktek mata
pelajaran seni budaya.
2.
Menambah wawasan penulis terkait dengan
seluk beluk Tari Arja.
Manfaat
bagi pembaca:
1.
Dapat mengetahui sejarah dari Tari Arja.
2.
Dapat mengetahui perkembangan Tari Bali dari mulai
tercipta sampai dengan sekarang.
3.
Dapat mengetahui fungsi Tari Arja dalam kehidupan
masyarakat.
4.
Dapat mengetahui perbendaharaan atau ragam gerak dalam
Tari Arja.
5.
Dapat mengetahui tata rias dalam Tari Arja.
6.
Dapat mengetahui kostum yang digunakan dalam Tari
Arja.
7.
Dapat mengetahui musik yang digunakan dalam Tari Arja.
BAB
II
PEMBAHASAAN
2.1
Sejarah Tari Arja
Tari
Arja adalah kesenian tradisional Bali yang merupakan perpaduan antara drama,
tari dan musik yang saling mendukung dan tidak
dapat dipisahkan, sehingga menjadi suatu bentuk tontonan yang menyatu. Sehingga
Tari Arja disebut juga sebagai dramatari. Dramatari adalah pertunjukan drama
yang diungkapkan dalam bentuk gerak tarian serta percakapan (drama tari
berdialog) atau nyanyian (drama tari tak berdialog).
Menurut I
Made Bandem dalam bukunya Ensiklopedia Tari Bali, etimologi kata Arja diduga
berasal dari kata “ Reja“ yang mendapat awalan “A” sehingga menjadi kata Areja.
Oleh karena kasus pembentukan kata, istilah Areja berubah menjadi Arja yang
berarti “sesuatu hal yang mengandung keindahan”. Dan saat ini kata Arja
dipergunakan untuk menamakan satu jenis kesenian Bali yang berunsurkan tari,
drama dan nyanyian yaitu Tari Arja.
Arja
diduga muncul sekitar tahun 1775-1785 M, pada masa pemerintahan Raja I Dewa
Agung Gede Sakti di Puri Klungkung. Tepatnya pada saat menantu beliau, I Gusti
Ayu Karangasem mengadakan upacara pembakaran mayat untuk suami dan madunya,
yaitu I Dewa Gede Agung Kusamba dan I Gusti Ayu Jambe, yang meninggal ketika
membantu menyelesaikan perang saudara antara I Dewa
Gede Rai dari Bangli dan I Dewa Agung Gede Oka dari
Taman Bali, di sungai Belahan Pane akibat serangan
tentara Taman Bali yang salah duga atas kedatangannya. Upacara pembakaran
mayat yang dilakukan besar-besaran itu dihadiri raja-raja dari seluruh Bali
dengan membawa seni pertunjukan dari daerahnya masing-masing. Waktu itu untuk
pertama kalinya I Dewa Agung Manggis, raja Gianyar dan I Dewa Agung Jambe, raja
Badung, memprakarsai pergelaran Arja.
Tari
Arja saat itu masih disebut Dadap yang melakonkan Kesayangan limbur, sebuah
cerita yang berisikan sindiran terhadap I Gusti Ayu Karangasem. Pohon “dadap”
diangap suci oleh masyarakat Bali dan dipakai dalam upacara, misalnya dalam
upacra Dewa Yadnya (upacara suci untuk dewa-dewa). Kayu “dadap” juga dipakai
untuk membuat pelinggih (tempat suci) para roh leluhur yang diundang menghadiri
upacara. Dalam upacara Manusa Yadnya, daun dadap dipakai sebagai “tepung tawa”,
lambang pembersih dan keselamatan. Adapun dalam upacara perkawinan, dahan dadap
dipakai sebagai alat pemikul hasil bumi, yang merupakan lambang kesuburan, sekaligus
dipakai sebagai tiang sanggah (tempat suci yang dipakai untuk pemujaan pada
upacara perkawinan). Baris dadap, salah satu jenis Tari Baris sakral yang
menggunakan daun dadap sebagai senjata. Begitu pula dengan Wayang Lemah,
menggunakan dahan dadap sebagai tiang menggantung benang pengganti kelir.
Sejalan dengan ide pertunjukan Wayang Lemah, oleh
karena itu Arja juga disebut Dadap, yang mana pertunjukannya dibagi dua
kelompok, yakni kelompok kanan dan kelompok kiri. Pembagian kelompok
diasosiasikan dengan falsafah baik dan buruk dalam kehidupan masyarakat di
Bali. Semua pemeran, baik pria maupun wanita berjongkok pada masing-masing
arena, menunggu giliran berperan. Saat itu, Arja tidak memakai instrumen, namun
para pelaku berperan sambil menyanyikan tembang lelawasan, sejenis kidung
upacara yang ada sekarang.
Ada
kemungkinan Arja merupakan perkembangan dari Gambuh, sebuah teater klasik Bali
yang dianggap sebagai sumber berbagai jenis teater Bali. Dalam sejarah
perkembangannya, Arja banyak mengambil pemeran pria dan wanita dari Gambuh.
Bebtuk gerak yang sangat sukar dalam Gambuh diubah dan disederhanakan guna
menggarisbawahi ungkapan seni suara di dalam Arja. Itulah yang menyebabkan
bentuk-bentuk gerak tari yang khas dalam Arja tidak terdapat dalam teater lain
di Bali. Kendati ada kemungkinan bahwa nama dari wujud gerak tersebut sama
dengan wujud gerak dalam Gambuh, namun kualitas dan pelaksanaannya jauh
berbeda. Banyak diantara para pelaku yang merasa mengalami kesukaran dalam
mempelajari Arja karena Arja lebih mengutamakan keharmonisan antara tembang dan
gerak tariannya. Dalam Gambuh, penekanan-penekanan tersebut dapat
dipisah-pisahkan. Ada bagian yang ditekankan pada gerak, ada yang ditekankan
pada wawankata, dan ada pula yang ditekankan pada nyanyian. Lain halnya dengan
Arja, semua aspek tersebut harus harmonis.
Karena
arja merupakan suatu tari yang berunsurkan drama maka dalam penampilan harus
ada ceri ataupun kisah yang harus dimanikan. Kisah ataupun lakon-lakon tersebut
biasanya sangat beragam. Pada umumnya, lakon yang biasanya menjadi cirri khas
suatu Tari Arja adalah cerita panji. Tapi seiring dengan perkembangan arja,
lakon yang ditampilkan juga bersumber dari luar cerita panji. Berikut ini
lakon-lakon yang sering diperankan dalam Tari Arja.
a. Kisah
Panji
Cerita ini
mengisahkan kehidupan, percintaan, serta peperangan raja-raja dan kaum
bangsawan Kerajaan Jenggala, Kediri, Gegelang, dan lain-lain di Jawa Timur. Di
Bali cerita ini disebut Malat. Di dalam pertunjukan Arja, lakon Panji biasanya
lebih dikenal dengan lakon Daha-Jenggala, atau lakon Galuh Daha dengan Mantri
Jenggala. Lakon-lakon Arja yang tergolong kisah Panji, antara lain, Ponjon,
Made Madu Swara, Banda Sura, Pakang Raras, dan lain-lain.
b. Cerita
Rakyat
Di samping kisah
Panji, juga mengambil lakon dari cerita rakyat (folk tale) yang sesuai dengan
pearjaan, yaitu cerita angker, keramat, atau yang mengandung ilmu hitam dan
cara penolakannya. Cerita yang dimaksud, antara lain, Jayaprana, Rare Angon,
Basur, dan Japatuan.
c. Cerita
Cina
Kebudayaan Bali
banyak menerima pengaruh dari kebudayaan Cina, termasuk cerita Cina yang
disebut Sam-Pek Eng-Tay yang kemudian dijadikan lakon Arja. Cerita ini
mengisahkan seorang jejaka (Sam-Pek) yang karena kebodohannya gagal merebut
hati kekasihnya (Eng-Tay), sehingga ia mati merana. Eng-Tay yang sebenarnya
sangat mencintai Sam-Pek, akhirnya menghilang masuk kuburan Sam-Pek.
d. Mahabharata
Wiracarita
Mahabharata lebih dikenal sebagai lakon Wayang Kulit Parwa. Cerita ini diangkat
pula sebagai lakon Arja, seperti Senapati Salya dan Perkawinan Bimaniyu
(Kapandung Siti Sundari), yang dalam kesusastraan Jawa Kuno cerita ini disebut
Gatotkacasraya.
e. Ramayana
Ramayana, yang
merupakan cerita pokok dari Wayang Kulit Ramayana, diangkat juga sebagai lakon
Arja.
2.2 Perkembangan Tari Arja
Berpangkal
pada Arja Dadap yang muncul di Puri Klungkung, bermunculanlah jenis-jenis Arja
dengan lakon yang berbeda dalam masyarakat Bali. Sehingga dalam perkembangannya
Tari Arja dibagi menjadi 3 tahap perkembangan, yaitu sebagai berikut.
- Munculnya Arja Doyong yaitu Arja yang dalam pementasannya tanpa iringan gamelan, dimainkan oleh satu orang.
- Arja Gaguntangan adalah Arja yang dalam pementasannya memakai gamelan Gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang.
- Arja Gede adalah Arja yang dalam pementasannya yang dibawakan oleh antara 10 sampai 15 pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada sekarang.
Di Singapadu
muncul Arja Doyong atas prakarsa tokoh-tokoh Gambuh Singapadu, antara lain Nang
Turun dan Cokorda Rai Panji. Penarinya semua laki-laki dengan tata busana
sederhana. Mereka menyanyi bersahutan seperti melagukan pantun lagu Melayu
dewasa ini. Setelah Arja Doyong ini, muncul Arja
yang memakai lakon Pakang Raras di Banjar Tameng Sukawati, yang didukung oleh
tokoh-tokoh Legong Kraton dari Sukawati, seperti Dewa Rai Perit yang memerankan
tokoh Putri, Anak Agung Raka yang memerankan tokoh Mantri, tokoh Penasar dan
sebagainya. Arja Pakang Raras ini diiringi gambelan geguntangan, yang meliputi
kendang, ceng-ceng, kajar, guntang, dan suling.
Dalam
perkembangan selanjutnya, muncul lagi Arja di Singapadu yang melakonkan
Sam-Pek-Eng-Tay, cerita Cina yang disajikan dalam bentuk tembang. Arja yang
sama berkembang juga di Desa Blahbatuh dengan galuh-nya yang terkenal, yaitu I
Wayan Purna, dalam membawakan tembang-tembang Slopog. Tidak lama kemudian, Arja
berkembang di Desa Kramas, Kabupaten Gianyar. Perkembangan ini ditandai dengan
tumbuhnya Arja di Banjar Pelaklagi, dan kehidupannya didukung beberapa seniman
ternama, seperti I Karas, Ida Aji Gederan, I Kelebit, dan I Keken. Sekitar
1915-1920 Arja di daerah Bai Tengah mulai populer, dengan munculnya perkumpulan
Arja dari Desa Singapadu yang membawakan lakon Jayaprana. Menurut informasi
dari seniman-seniman tua di Desa Singapadu, lakon Jayaprana dibawa ke Singapadu
oleh pedagang candu dari Desa Liligundi Kabupaten Buleleng.
Arja Jayaprana diperkenalkan kepada masyarakat oleh para pemeran seperti I Made
Tokolan (Nang Turun) dan I Gusti Ngurah Keceb. Nang Turun mewariskan
keahliannya kepada I Wayan Geria dan I Made Keredek, yang menampilkan
tokoh-tokoh wanita dalam pengembangan Arja Jayaprana di Singapadu. Tokoh-tokoh
tersebut ialah Ni Nyoman Rindi, Ni Made Senun, A.A Rai Tangi, dan Ni Jero
Sebita.
Sekitar tahun 1930-an,
perkembangan Arja semakin meningkat. Seniman I Made Keredek mulai belajar Arja
di Desa Kerambitan (Tabanan), Apua (Bangli), Peliatan Ubud (Gianyar), Kedaton,
dan Renon (Denpasar). Karena semakin banyak kelompok masyarakat yang tertarik
dengan Arja, munculah Arja Sebunan, yaitu sebuah perkumpulan Arja dari sebuah
banjar atau desa adat. Pementasan Arja yang semula didukung beberapa seniman
saja, tahun 1970-an mulai didukung seniman dan seniwati dalam jumlah lebih
besar, maka disebut Arja Gede (Arja Besar). Menurut almarhum I Made Keredek, di
desa Carangsari, Kabupaten Badung, pernah dipentaskan Arja yang mempergunakan
17 tokoh mantri dengan lakon Sayembara Drupadi. Karena mengalami kesukaran
dalam penyutradaraan, pertunjukan Arja Gede itu hanya berlangsung tiga jam.
Tahun 1940-an
tetap menjadi titik tolak perkembangan Arja di Bali. Tuntutan masyarakat akan
perubahan menyebabkan muncul sebuah pertunjukan Arja Gede dengan pelaku-pelaku
utama yang diambil dari Arja Sebunan. Tokoh Arja Sebunan yang terpandai dipilih
sebagai anggota Arja Gede. Keadaan seperti itu menyebabkan sebutan Arja Gede
diganti dengan Arja Bon. Sampai saat ini nama arja Bon masih terpampang dalam
ingatan masyarakat Bali, lebih-lebih banyak pendukung kesayangan masyarakat
yang berasal dari semua daerah kabupaten di Bali. Karena Arja Bon dilakukan
pleh 12 pelaku, Arja itu disebut juga Arja Roras (Arja Dua Belas).
Sampai-sampai almarhum I Nyoman Likes, seorang seniman yang selalu bertindak
sebagai impresario Arja itu, diberi julukan Bapak Dua Belas. Selain itu,
seniman pegongan I Wayan Bangkrik dai Belaluan Denpasar terkenal juga sebagai
pembina Arja Roras, khususnya untuk kepentingan amal dan pasar malam yang
diadakan pemerintah.
Setelah teater
Arja Roras semakin pudar di mayarakat, muncullah grup Arja Telu Aji Siu, tiga
seharga seribu rupiah. Sebutan ini sangat populer karena ongkos yang diterima
oleh seorang pelaku adalah sebanyak Rp 333,33 (tiga ratus tiga puluh tiga
rupiah tiga puluh tiga sen). Kemudian setelah ada perubahan nilai mata uang,
Arja Telu Aji Siu diganti dengan nama Arja Ri karena nama pelaku utamanya
diawali dengan kata Ri, seperti Ribu, Riuh, Rinun, dan Rideng.
Sekitar tahun 1968 sistem impresario semakin menonjol di pulau ini, sehingga anggota-anggota Arja Ri bergabung menjadi Arja Candra Metu RRI Denpasar, dengan memilih cerita Pakang Raras sebagai lakon utama. Seniwati, seperti Ni Nyoman Candri, Ni Made Suci, Cok Istri Partini, Monjong, Sadru, dan Monogan, turut pula membintangi Arja ini. Gamelan geguntangan, yang biasanya dipakai untuk mengiringi Arja lainnya, kini diganti gamelan gong, bahkan gender wayang masuk di dalamnya. Menurut keterangan para seniman yang tergabung dalam grup Candra Metu ini, terpakainya dua gamelan tersebut karena mereka mempunyai kebebasan berkreasi. Namun, akibat digunakan Gong Kebyar adalah mulai tidak lakunya arja sekaa sebunan. Apalagi setelah munculnya drama gong, maka arja yang terlalu melankolis ini dianggap lamban. Akhirnya yang bertahan hanyalah Arja RRI dengan penari-penari kawakan: Ribu, Monjong, Sadru, Ida Bagus Buduk, sedangkan tiga yang terakhir sudah meninggal dunia. Nasib arja pun akhirnya bisa ditebak ketika tokoh-tokoh itu sudah mulai tua dan kaderisasi tidak jalan. Arja ditinggalkan penontonnya. Menjadi penari arja juga tidak mudah, harus menguasai tari, tembang dan dialog.
Sekitar tahun 1968 sistem impresario semakin menonjol di pulau ini, sehingga anggota-anggota Arja Ri bergabung menjadi Arja Candra Metu RRI Denpasar, dengan memilih cerita Pakang Raras sebagai lakon utama. Seniwati, seperti Ni Nyoman Candri, Ni Made Suci, Cok Istri Partini, Monjong, Sadru, dan Monogan, turut pula membintangi Arja ini. Gamelan geguntangan, yang biasanya dipakai untuk mengiringi Arja lainnya, kini diganti gamelan gong, bahkan gender wayang masuk di dalamnya. Menurut keterangan para seniman yang tergabung dalam grup Candra Metu ini, terpakainya dua gamelan tersebut karena mereka mempunyai kebebasan berkreasi. Namun, akibat digunakan Gong Kebyar adalah mulai tidak lakunya arja sekaa sebunan. Apalagi setelah munculnya drama gong, maka arja yang terlalu melankolis ini dianggap lamban. Akhirnya yang bertahan hanyalah Arja RRI dengan penari-penari kawakan: Ribu, Monjong, Sadru, Ida Bagus Buduk, sedangkan tiga yang terakhir sudah meninggal dunia. Nasib arja pun akhirnya bisa ditebak ketika tokoh-tokoh itu sudah mulai tua dan kaderisasi tidak jalan. Arja ditinggalkan penontonnya. Menjadi penari arja juga tidak mudah, harus menguasai tari, tembang dan dialog.
Setelah lama tenggelam muncul, sejak
abad ke 20, timbulah suatu inovasi baru yang dipelopori oleh Sanggar Printing
Mas. Semua pemeran Arja adalah pria yang di sebut Arja Muani. Arja ini lebih
mengutamakan ke banyolan (lawakan).
Jadi, pesan moral yang disampaikan dalam arja berubah menjadi lawakan
sehingga cerita menjadi tidak penting benar, yang jauh lebih penting adalah
banyolan. Hal ini sungguh menghibur masyarakat dan semakin meningkatkan
popularitas Tari Arja di kalangan masyarakat. Sanggar Printing Mas
termasuk sukses dengan pembaruan ini. Lakon yang top saat itu seperti ”Siti
Markomah”. Selain itu muncul juga grup Coblong Pamor di Denpasar dan grup Akah
Canging di Tabanan yang juga menampilkan Arja Muani. Ternyata umur arja muani
ini juga tidak panjang. Sanggar Printing Mas membekukan grupnya karena tak
tahan melawan pembacakan VCD, sementara grup lainnya juga mulai ditinggalkan
penonton karena lawakannya mengarah ke vulgar dan terjadi pengulangan sehingga
membuat penonton bosan.
Namun
setelah beberapa kali gagal akhirnya ada upaya lain yang muncul, sesuatu yang
lebih serius dan jauh dari kesan menjual banyolan, yaitu dengan memberikan
nuansa baru pada Arja, yakni dengan menambah jalan cerita yang penuh
ditampilkan dalam pementasan arja. Ini dilakukan oleh Geria Olah Kreativitas
Seni (GEOKS) Singapadu pimpinan Prof. Dr. I Wayan Dibia. Sudah dua garapannya
yang diciptakan. Pertama lewat cerita ”Ketemu Ring Tampaksiring”, berdasarkan
cerita pendek berbahasa Bali karya I Made Sanggra, dan yang baru saja
dipentaskan adalah ”Prabu Adhipusengara”. Yang terakhir ini adalah adaptasi
dari kisah teater klasik Eropa yang begitu legendaris, Oedipus Sang Raja. Walaupun
mengambil cerita yang berbeda dari biasanya, tetapi kreasi GEOKS ini tetap
setia kepada pakem-pakem arja, baik pola keluarnya penari (pepeson), agem tari,
tembang, dan bahkan penokohannya. Tidak ada yang berubah sama sekali. Hanya
cerita yang menjadi ”asing”, tidak ditemukan dalam kisah-kisah Panji sebagaimana
ciri khas cerita arja.
Dari perkembangan selama ini
dapat dikatakan bahwa Arja masih sangat populer di masyarakat Bali, seperti
dapat dilihat pada kemaunan masyarakat untuk berbondong-bondong meramaikan
festival yang diadakan setiap tahun hingga saat ini. Secara sepintas maka dapat
dikatakan bahwa Arja di Bali masih tersebar di banyak wilayah, seperti Bangli,
Klungkung, Gianyar, Amlapura, Badung, Tabanan, Jembrana, hingga Singaraja. Pertunjukkan
Arja sendiri makin berkembang, dari even biasa hingga even berskala besar
seperti Pesta Kesenian Bali (PRKB).
Dalam
perkembangannya Arja mengenal semacam penyutradaraan. Tokoh yang menjadi pengarah ini seringkali juga merupakan pengajar tari, tembang dan gamelan, selain
pengarang tembang yang akan digunakan. Pada umumnya ia akan mengarang dan
menyusun tembang itu sesuai yang diinginkan
menurut lakon dan jalan ceritra yang akan dipentaskan.
Dalam penokohan Tari
Arja, dikenal ada 12 pemeran tokoh dalam
tari tersebut yang harus ada dalam setiap pementasannya walaupun cerita yang
dimainkan berbeda-beda. Tokoh-tokoh tersebut menjadi tokoh-tokoh pokok yang
tidak bisa dihilang dalam suatu pemetasan Tari Arja. Tokoh tersebut memiliki
watak berbeda-beda sehingga mereka memiliki cirri khas tersendiri baik dari
segi penampilan sampai dengan gerak-gerik mereka. Hal ini yang yang sering
sekali memberi hiburan yang lebih untuk masyarakat yang menontonnya. Sehingga
dalam Tari Arja tokoh-tokoh tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu golongan
baik dan golongan buruk. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya.
a. Condong : merupakan seorang dayang galuh. Dia
merupakan tokoh yang keluar paling pertama.
b. Galuh
: merupakan seorang putri raja. Dia merupakan pemeran utama dalam setiap cerita
yang dientaskan. Dia memiliki sifat-sifat layaknya seorang putri. Seperti lemah
lembut, anggun, baik hati, dan sangat cantik.
c. Desak
rai : merupakan dayang dari Liku ( Putri Buduh ).
d. Liku
: merupakan seorang putri raja. Dia bersaudara dengan Galuh. Hanya saja dia
tidak memiliki sifat sepertinya. Dia memiliki watak yang keras dan terkadang
menunjukkan sifat seperti putri yang gila. Sehingga dia disebut juga sebagai
putri buduh. Dalam pementasannya, likulah yang paling ditunggu penampilannya,
karena penampilannya yang sering membawa humor, seperti pakainnya yang norak
dan kelakuan yang lucu. Sehingga sangat menghibur penonton.
e. Limbur
: merupakan seorang permaisuri. Kadang dalam salah satu cerita yang
dipentaskan, dia juga menjadi ibu dari Galuh.
f. Mantra
manis: adalah seorang anak muda yang tampan atau putra. Dia sama halnya seperti
galuh. Dia juga merupakan pemeran utama dan memiliki sifat layaknya seorang
pangeran, seperti bijaksana, gagah berani, dan baik hati.
g. Punta
: merupakan seorang parekan (dayang) dari Mantri Manis.
h. Wijil
manis : merupakan seorang parekan (dayang) dari Mantri Manis
i.
Mantra buduh : “ merupakan seorang putra. Tapi berbeda
halnya dengan Mantri Manis. Mantri Buduh me
2.3 Fungsi Tari Arja
Menurut
fungsinya Arja digolongkan ke dalam kelompok Tari Balih-balihan. Tari
Balihan-balihan merupakan tari yang berfungsi sebagai pertunjukan dan hiburan.
Tari ini biasanya dipentaskan di Jaba Pura (di luar pura ). Sebagai suatu
bentuk teater Arja dipengaruhi oleh Gambuh dan mempunyai uger-uger atau pola
yang mencerminkan zaman Puri.
Arja
menyajikan ceritra kerajaan dan perwatakannya sangat diperngaruhi oleh adanya
kasta. Arja selain berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat, arja juga sebagai
Tari Keagamaan atau tari yang sering dipentaskan dalam upacara keagamaan,
kemudian juga berkembang untuk kepentingan amal, hiburan di pasar malam dan
kepentingan lainnya.
Sebagai suatu
pertunjukan Arja mempunyai makna juga untuk pendidikan. Biasanya masyarakat
sesudah menonton Arja berhari-hari akan menirukan nyanyian dan lelucon yang
ditampilkan oleh kelompok yang baru saja mereka lihat. Gerakan-gerakan lucu
atau ungkapan tentang kejadian-kejadian yang menggelitik akan mereka ulangi
dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian Arja merupakan suatu medua
komunikasi yang sangat ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan.
2.4 Musik Iringan Tari Arja
Musik iringan
dalam Tari Arja mengalami juga mengalami perkembangan dari masa kemasa. Dari
perkembangan ini juga membedakan perkembangan tari arja menjadi 3 tahap. Pada
tahap pertama disebut dengan Arja Doyong, dimana Arja ini dalam pementasannya
tidak diiringi dengan gamelan, tapi hanya diiringi dengan lantunan tembang
lelawasan. Selain itu Arja juga menampilkan seni suara yang bertangga nada
slendro/pelog menjadi tembang yang sangat merdu dan menarik, sedangkan sebagai
pendukung dan penagasan ceritera dilakukan melalui monolog dan dialog.
Perkembangan tahap
kedua yaitu Arja yang diiringi dengan geguntangan. Gamelan ini adalah pengiring pertunjukan dramatari Arja
yang diperkirakan muncul pada permulaan abad XX.
Sesuai dengan bentuk Arja yang lebih mengutamakan tembang dan melodrama,
maka diperlukan musik pengiring yang suaranya tidak terlalu keras, sehingga
tidak sampai mengurangi keindahan lagu-lagu vokal yang dinyanyikan para penari.
Melibatkan antara 10 sampai 12 orang penabuh,
gamelan ini termasuk barungan kecil. Geguntangan adalah suatu barungan yang
ditentukan oleh adanya 2 buah instrumen yang sama yaitu instrumen guntang dan
kedua instrumen tersebut mempunyai tugas dan fungsi berlainan, yaitu:
pertama guntang kajar atau pemegang mat, bernada tinggi. Kedua guntang wadon
berfungsi sebagai kempur atau penanda akhir suatu bagian lagu, yang bernada
lebih rendah dari guntang lanang. Pukulan guntang wadon lebih jarang yaitu
empat kali pukulan lanang sama dengan satu kali pukulan wadon. Di samping itu
guntang bila dipukul tidak menyuarakan nada tertentu seperti
instrumen-instrumen lainnya, baik termasuk laras pelog maupun selendro. Sebab
dalam barungan gamblengan geguntangan melodi dipegang oleh suling, sedangkan
guntang sebagai pemegang mat dan penanda akhir suatu bagian lagu.
Meskipun Guntang tidak mendukung
nada tertentu, getaran suaranya yang empuk dan lembut memberikan suasana yang
khas baik kepada barungan geguntangan itu sendiri maupun pementasan tari
Arjanya. Terutama pada saat instrumen-instrumen lainnya dihentikan sesaat, dan
dalam suasana pementasan sedih atau sentimential, maka suara guntang memberi
irama sahdu.
Bahan untuk guntang adalah bambu
“petung” yang agak besar, lebih besar dari ukuran terbesar bambu untuk membuat
gerantang Joged Bungbung. Guntang Lanang mempunyai ukuran panjang silinder dan
garis tengah lingkaran penampangnya masing-masing 40 cm dan 10 cm. Sedangkan
guntang wadon masing-masing 60 cm dan 15 cm. berbeda dengan gambelan bambu
lainnya guntang dibuat dari seruas bambu dengan kedua penampangnya masih
tertutup oleh buku-buku ruas.
Posisi memukul guntang adalah dengan
bersila dan memangkunya. Tangan kanan memegang panggul, sedang telapak tangan
kiri menempel pada penampang buku ruas sebelah kiri tepat pada lubang tadi.
Gambelan geguntangan
bukan saja terdapat dua buah guntang melainkan terdapat pula instrumen lain
seperti kendang, cengceng, tawa-tawa,
Dan pda tahap perkembangan ketiga adalah
Arja Gede yang diiringi dengan gong kebyar. Gong Kebyar merupakan satu barungan
gembelan yang masuk ke dalam ensamble besar, dimana butuh 35 orang penabuh/
pengrawit saat memainkan ensamble ini. Gong Kebyar memakai laras pelog 5 Nada
(3,4,5,7,1) dan kebanyakan instrumennya memiliki 10 sampai 12 nada, yang lagu-lagunya
seringkali merupakan penggarapan kembali terhadap bentuk-bentuk (repertoire)
tabuh klasik dengan merubah komposisinya, melodi, tempo dan ornamentasi melodi.
Desa yang disebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar
adalah Desa Jagaraga (Buleleng) yang
juga memulai tradisi Tari Kekebyaran.
Jenis instrument yang ada dalam barungan (ensamble) Gong
Kebyar beserta fungsi dan teknik memainkannya.
a. Kendang
Kendang adalah instrument yang terbuat dari kayu
yang bentuknya tabung yang memiliki 2 muka yaitu satu diameternya lebih besar
dan bagian lainnya yang lebih kecil. Kendang di dalam Gong Kebyar ada Kendang
Lanang Wadon dan ada kendang tunggal atau bebarongan. Fungsi kendang di dalam Gong
Kebyar adalah sebagai pemurba irama, sebagai penghubung bagian lagu, membuat
angsel-angsel dan mengendalikan irama gending. Cara-cara memainkan kendang
adalah milpil, batu-batu, gagulet dan cadang runtuh.
b.
Terompong
Terompong adalah salah satu instrument yang ada di Gong
Kebyar, terdiri dari dua bagian yaitu daerah yang di pukul berbentuk pencon
yang berjumblah 10 pencon, dan tungguhnya yang terbuat dari kayu biasanya diukir
atau lelengisan (yang tidak di ukir). Fungsi instrument terompong adalah memainkan
melodi pokok, memulai lagu lelambatan dan membuat fareasi dan memperjelas melodi. Teknik memainkan instrument
terompong adalah ngeluluk, neliti, nyele, ngembat, ngempyung, ngembat, nyintud,
nyilih asih nyekati, ngumad, nguluin nerumpuk, ngoret,
dan
ngerot.
c. Giying
atau ugal
Giying atau ugal adalah salah satu instrument yang
ada dalam barungan Gong Kebyar. Ugal terdiri dari dua bagian yaitu daerah yang
dipukul berbentuk bilah dan tungguhnya yang terbuat dari kayu yang diukir atau
lelengisan. Fungsi dari ugal atau giying adalah memulai gending, membawakan
melodi gending dan menyambung atau menghubungkan ruas-ruas lagu. Teknik memainkan
ugal atau giying ini adalah ngoret, ngerot, netdet, ngecek dan neliti.
d. Pemade
Pemade adalah instrument yang ada
dalam barungan gambelan Gong Kebyar yang dimainkan dengan polos dan sangsih. Pemade
juga terdiri dari dua bagian yaitu daerah yang di pukul berbentuk bilah dan
tungguhnya terbuat dari kayu yang diukir atau lelengisan. Fungsi dari pemade
adalah memberikan angsel-angsel, membuat jalinan motif-motif tertentu dan
mengisi rongga-rongga antara penyahcah dan jublag. Teknik memainkan pemade
adalah ngubit, norot, nyekati, gegulet, beburu, oncang-oncangan, ngoret,
ngerot, ngantung milpil, netdet nyogcag dan asu nuntun saji.
e.
Kantil
Kantil adalah instrument yang ada
dalam barungan gambelan Gong Kebyar yang dimainkan dengan polos dan sangsih. Fungsi,
teknik permainan dalam kantil dan pemade sama, hanya yang menjadi perbedaan adalah
ukuran baik bilah atau tungguh kantil ukurannya lebih kecil.
f.
Reong
Reong adalah satu instrument dalam
barungan gambelan Gong Kebyar. Reong juga terdiri dari dua bagian yaitu daerah di
pukul yang berbentuk pencon dan tungguhnya yang terbuat dari kayu yang diukir
maupun lelengisan. Fungsi dari reong adalah memberikan angsel-angsel, membuat
jalinan motif-motif tertentu dan bisa juga menghubungkan lagu. Teknik memainkan
reong diantaranya adalah norot oncang-oncangan, ngubit, gegulet, berburu,
nelutur, asu anuntun saji,dan memanjing.
g.
Penyahcah
Penyahcah adalah instrument yang ada
dalam barungan gambelan Gong Kebyar. Penyahcah juga terdiri dari dua bagian
yaitu daerah yang di pukul berbentuk bilah dan tungguhnya terbuat dari kayu
yang diukir atau lelengisan. Fungsi dari penyahcah adalah melipat gandakan
pukulan jublag dan menjadikan pukulan lagu yang ajeg. Teknik memainkan
penyahcah adalah neliti.
h.
Jublag
Jublag adalah instrument yang ada
dalam barungan gambelan Gong Kebyar. Jublag juga terdiri dari dua bagian yaitu
daerah yang di pukul berbentuk bilah dan tungguhnya terbuat dari kayu yang
diukir atau lelengisan. Fungsi dari jublag adalah menentukan jatuhnya pukulan
jegog. Teknik memainkan jublag adalah neliti, nyelah dan ngempur.
i.
Jegogan
Jegogan adalah instrument yang ada
dalam barungan gambelan Gong Kebyar. Jegog juga terdiri dari dua bagian yaitu
daerah yang di pukul berbentuk bilah dan tungguhnya terbuat dari kayu yang
diukir atau lelengisan. Fungsi dari jegogan adalah menandai lagu mencapai satu
phrase (kalimat) dan menentukan jatuhnya gong atau kempur. Teknik memainkan
jegogan adalah nyelah.
j.
Kempur
Kempur adalah salah satu instrument
dalam Gong Kebyar yang berbentuk pencon. Fungsi dari kempur untuk menandakan
akan jatuhnya pukulan gong.
k.
Gong
Gong adalah salah satu instrument
dalam Gong Kebyar yang berbentuk pencon. Fungsi dari gong adalah menandakan selesainya
satu lagu atau gending dan menjadi tanda peralihan lagu atau gending.
l.
Suling
Suling adalah instrument dalam Gong
Kebyar yang terbuat dari bambu yang di beri lubang, umumnya enam lubang yang menghasilkan
nada sesuai dengan standar nada pada instrument lain dalam barungan Gong Kebyar
tersebut. Fungsi dari suling adalah menjadi pemanis dalam lagu. Teknik
memainkan suling adalah ngelik, neliti dan wilet.
m.
Kajar
Kajar adalah salah satu instrument
yang ada dalam barungan Gong Kebyar serta berbentuk pencon. Fungsi dari kajar
adalah menentukan cepat lambatnya lagu atau gending.
n.
Kecek
Kecek adalah salah satu instrument
yang ada dalam barungan Gong Kebyar. Kecek berbentuk pangkon atau cembung yang
biasa di sebut simbal. Fungsi dari kecek adalah memberikan angsel-angsel atau
aksen dalam suatu gending atau lagu.
2.5 Perbendaharaan Tari
2.6 Tata Rias Tari
2.7 Kostum Tari
0 komentar:
Posting Komentar