Perkembangan Tari Arja
Istilah Arja diduga dari kata “reja” yang mendapat awalan “a” menjadi “areja”. Karena kasus pembentukan kata, istilahnya berubah menjadi Arja, yang berarti, ‘suatu hal yang mengandung keindahan’. Dewasa ini kata arja dipergunakan untuk menamakan suatu jenis kesenian Bali yang berunsurkan tari, drama, dan tembang (nyanyian).
Ada kemungkinan Arja merupakan perkembangan dari Gambuh, sebuah teater klasik Bali yang dianggap sebagai sumber berbagai jenis teater Bali. Dalam sejarah perkembangannya, Arja banyak mengambil pemeran pria dan wanita dari Gambuh. Bebtuk gerak yang sangat sukar dalam Gambuh diubah dan disederhanakan guna menggarisbawahi ungkapan seni suara di dalam Arja. Itulah yang menyebabkan bentuk-bentuk gerak tari yang khas dalam Arja tidak terdapat dalam teater lain di Bali. Kendati ada kemungkinan bahwa nama dari wujud gerak tersebut sama dengan wujud gerak dalam Gambuh, namun kualitas dan pelaksanaannya jauh berbeda. Banyak diantara para pelaku yang merasa mengalami kesukaran dalam mempelajari Arja karena Arja lebih mengutamakan keharmonisan antara tembang dan gerak tariannya. Dalam Gambuh, penekanan-penekanan tersebut dapat dipisah-pisahkan. Ada bagian yang ditekankan pada gerak, ada yang ditekankan pada wawankata, dan ada pula yang ditekankan pada nyanyian. Lain halnya dengan Arja, semua aspek tersebut harus harmonis.
Arja diduga muncul sekitar tahun 1775-1785 M, pada masa pemerintahan Raja I Dewa Agung Gede Sakti di Puri Klungkung. Tepatnya pada saat menantu beliau, I Gusti Ayu Karangasem mengadakan upacara pembakaran mayat untuk suami dan madunya, yaitu I Dewa Gede Agung Kusamba dan I Gusti Ayu Jambe, yang meninggal ketika membantu menyelesaikan perang saudara antara I Dewa Gede Rai dari Bangli dan I Dewa Agung Gede Oka dari Taman Bali, di sungai Belahan Pane akibat serangan tentara Taman Bali yang salah duga atas kedatangannya.
Upacara pembakaran mayat yang dilakukan besar-besaran itu dihadiri raja-raja dari seluruh Bali dengan membawa seni pertunjukan dari daerah masing-masing. Waktu itu untuk pertama kalinya I Dewa Agung Manggis, raja Gianyar dan I Dewa Agung Jambe, raja Badung, memprakarsai pergelaran Arja.
Tari Arja saat itu masih disebut Dadap yang melakonkan Kesayangan limbur, sebuah cerita yang berisikan sindiran terhadap I Gusti Ayu Karangasem. Pohon “dadap” diangap suci oleh masyarakat Bali dan dipakai dalam upacara, misalnya dalam upacra Dewa Yadnya (upacara suci untuk dewa-dewa). Kayu “dadap” juga dipakai untuk membuat pelinggih (tempat suci) para roh leluhur yang diundang menghadiri upacara. Dalam upacara Manusa Yadnya, daun dadap dipakai sebagai “tepung tawa”, lambing pembersih dan keselamatan. Adapun dalam upacara perkawinan, dahan dadap dipakai sebagai alat pemikul hasil bumi, yang merupakan lambing kesuburan, sekaligus dipakai sebagai tiang sanggah (tempat suci yang dipakai untuk pemujaan pada upacara perkawinan). Baris dadap, slah satu jenis Tari Baris sakral yang menggunakan daun dadap sebagai senjata. Begitu pula dengan Wayang Lemah, menggunakan dahan dadp sebagai tiang menggantung benang pengganti kelir. Sejalan dengan ide pertunjukan Wayang Lemah, Srja juga disebut Dadap, yang mana pertunjukannya dibagi dua kelompok, yakni kelompok kanan dan kelompok kiri. Pembagian kelompok diasosiasikan dengan falsafah baik dan buruk dalam kehidupan masyarakat di Bali. Semua pemeran, baik pria maupun wanita berjongkok pada masing-masing arena, menunggu giliran berperan. Saat itu, Arja tidak memakai instrumen, namun para pelaku berperan sambil menyanyikan tembang lelawasan, sejenis kidung upacara yang ada sekarang.
Berpangkal pada Arja Dadap yang muncul di Puri Klungkung, bermunculanlah jenis-jenis Arja dengan lakon yang berbeda dalam masyarakat Bali. Di Singapadu muncul Arja Doyong atas prakarsa tokoh-tokoh Gambuh Singapadu, antara lain Nang Turun dan Cokorda Rai Panji. Penarinya semua laki-laki dengan tata busana sederhana. Mereka menyanyi bersahutan seperti melagukan pantun lagu Melayu dewasa ini. Setelah Arja Doyong ini muncul Arja yang memakai lakon Pakang Raras di Banjar Tameng Sukawati, yang didukung olh tokoh-tokoh Legong Kraton dari Sukawati, seperti Dewa Rai Perit yang memerankan tokoh Putri, Anak Agung Raka yang memerankan tokoh Mantri, tokoh Penasar dan sebagainya. Arja Pakang Raras ini diiringi gambelan geguntangan, yang meliputi kendang, ceng-ceng, kajar, guntang, dan suling.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul lagi Arja di Singapadu yang melakonkan Sam-Pek-Eng-Tay, cerita Cina yang disajikan dalam bentuk tembang. Arja yang sama berkembang juga di Desa Blahbatuh dengan galuh-nya yang terkenal, yaitu I Wayan Purna, dalam membawakan tembang-tembang Slopog. Tidak lama kemudian, Arja berkembang di Desa Kramas, Kabupaten Gianyar. Perkembangan ini ditandai dengan tumbuhnya Arja di Banjar Pelaklagi, dan kehidupannya didukung beberapa seniman ternama, seperti I Karas, Ida Aji Gederan, I Kelebit, dan I Keken.
Sekitar 1915-1920 Arja di daerah Bai Tengah mulai populer, dengan munculnya perkumpulan Arja dari Desa Singapadu yang membawakan lakon Jayaprana. Menurut informasi dari seniman-seniman tua di Desa Singapadu, lakon Jayaprana dibawa ke Singapadu oleh pedagang candu dari Desa Liligundi Kabupaten Buleleng. Arja Jayaprana diperkenalkan kepada masyarakat oleh para pemeran seperti I Made Tokolan (Nang Turun) dan I Gusti Ngurah Keceb. Nang Turun mewariskan keahliannya kepada I Wayan Geria dan I Made Keredek, yang menampilkan tokoh-tokoh wanita dalam pengembangan Arja Jayaprana di Singapadu. Tokoh-tokoh tersebut ialah Ni Nyoman Rindi, Ni Made Senun, A.A Rai Tangi, dan Ni Jero Sebita.
Sekitar tahun 1930-an, perkembangan Arja semakin meningkat. Seniman I Made Keredek mulai belajar Arja di Desa Kerambitan (Tabanan), Apua (Bangli), Peliatan Ubud (Gianyar), Kedaton, dan Renon (Denpasar). Karena semakin banyak kelompok masyarakat yang tertarik dengan Arja, munculah Arja Sebunan, yaitu sebuah perkumpulan Arja dari sebuah banjaratau desa adat. Pementasan Arja yang semula didukung beberapa seniman saja, tahun 1970-an mulai didukung seniman dan seniwati dalam jumlah lebih besar, maka disebut Arja Gede (Arja Besar). Menurut almarhum I Made Keredek, di desa Carangsari, Kabupaten Badung, pernah dipentaskan Arja yang mempergunakan 17 tokoh mantri dengan lakon Sayembara Drupadi. Karena mengalami kesukaran dalam penyutradaraan, pertunjukan Arja Gede itu hanya berlangsung tiga jam.
Tahun 1940-an tetap menjadi titik tolak perkembangan Arja di Bali. Tuntutan masyarakat akan perubahan menyebabkan muncul sebuah pertunjukan Arja Gede dengan pelaku-pelaku utama yang diambil dari Arja Sebunan. Tokoh Arja Sebunan yang terpandai dipilih sebagai anggota Arja Gede. Keadaan seperti itu menyebabkan sebutan Arja Gede diganti dengan Arja Bon. Sampai saat ini nama arja Bon masih terpampang dalam ingatan masyarakat Bali, lebih-lebih banyak pendukung kesayangan masyarakat yang berasal dari semua daerah kabupaten di Bali.
Karena Arja Bon dilakukan pleh 12 pelaku, Arja itu disebut juga Arja Roras (Arja Dua Belas). Sampai-sampai almarhum I Nyoman Likes, seorang seniman yang selalu bertindak sebagai impresario Arja itu, diberi julukan Bapak Dua Belas. Selain itu, seniman pegongan I Wayan Bangkrik dai Belaluan Denpasar terkenal juga sebagai pembina Arja Roras, khususnya untuk kepentingan amal dan pasar malam yang diadakan pemerintah. Setelah teater Arja Roras semakin pudar di mayarakat, muncullah grup Arja Telu Aji Siu, tiga seharga seribu rupiah. Sebutan ini sangat populer karena ongkos yang diterima oleh seorang pelaku adalah sebanyak Rp 333,33 (tiga ratus tiga puluh tiga rupiah tiga puluh tiga sen). Kemudian setelah ada perubahan nilai mata uang, Arja Telu Aji Siu diganti dengan nama Arja Ri karena nama pelaku utamanya diawali dengan kata Ri, seperti Ribu, Riuh, Rinun, dan Rideng.
Sekitar tahun 1968 sistem impresario semakin menonjol di pulau ini, sehingga anggota-anggota Arja Ri bergabung menjadi Arja Candra Metu RRI Denpasar, dengan memilih cerita Pakang Raras sebagai lakon utama. Seniwati, seperti Ni Nyoman Candri, Ni Made Suci, Cok Istri Partini, Monjong, Sadru, dan Monogan, turut pula membintangi Arja ini. Gamelan geguntangan, yang biasanya dipakai untuk mengiringi Arja lainnya, kini diganti gamelan gong, bahkan gender wayang masuk di dalamnya. Menurut keterangan para seniman yang tergabung dalam grup Candra Metu ini, terpakainya dua gamelan tersebut karena mereka mempunyai kebebasan berkreasi. Adapun Arja ini mengambil lakon dari sumber-sumber berikut ini.
a. Kisah Panji
Cerita ini mengisahkan kehidupan, percintaan, serta peperangan raja-raja dan kaum bangsawan Kerajaan Jenggala, Kediri, Gegelang, dan lain-lain di Jawa Timur. Di Bali cerita ini disebut Malat. Di dalam pertunjukan Arja, lakon Panji biasanya lebih dikenal dengan lakon Daha-Jenggala, atau lakon Galuh Daha dengan Mantri Jenggala. Lakon-lakon Arja yang tergolong kisah Panji, antara lain, Ponjon, Made Madu Swara, Banda Sura, Pakang Raras, dan lain-lain.
b. Cerita Rakyat
Di samping kisah Panji, juga mengambil lakon dari cerita rakyat (folk tale) yang sesuai dengan pearjaan, yaitu cerita angker, keramat, atau yang mengandung ilmu hitam dan cara penolakannya. Cerita yang dimaksud, antara lain, Jayaprana, Rare Angon, Basur, dan Japatuan.
c. Cerita Cina
Kebudayaan Bali banyak menerima pengaruh dari kebudayaan Cina, termasuk cerita Cina yang disebut Sam-Pek Eng-Tay yang kemudian dijadikan lakon Arja. Cerita ini mengisahkan seorang jejaka (Sam-Pek) yang karena kebodohannya gagal merebut hati kekasihnya (Eng-Tay), sehingga ia mati merana. Eng-Tay yang sebenarnya sangat mencintai Sam-Pek, akhirnya menghilang masuk kuburan Sam-Pek.
d. Mahabharata
Wiracarita Mahabharata lebih dikenal sebagai lakon Wayang Kulit Parwa. Cerita ini diangkat pula sebagai lakon Arja, seperti Senapati Salya dan Perkawinan Bimaniyu (Kapandung Siti Sundari), yang dalam kesusastraan Jawa Kuno cerita ini disebut Gatotkacasraya.
e. Ramayana
Ramayana, yang merupakan cerita pokok dari Wayang Kulit Ramayana, diangkat juga sebagai lakon Arja.
Demikianlah cerita-cerita yang diangkat sebagai Lakon Arja. Pada awalnya Arja mengambil lakon pokok dari kisah Panji atau Malat, kemudian berkembang menggunakan cerita rakyat, cerita Cina, Mahabharata, dan Ramayana, bahkan mungkin juga pada masa mendatang akan mengambil lakon-lakon perjuangan, seperti Puputan Badung dan Puputan Margarana.
Kendati Arja dikembangkan dari Gambuh, dan Gambuh masih memakai titel dan nama raja-raja di Jawa Timur pada abad ke-13 sampai ke-14, seperti Raden Misa Jayanti, Demang Sampigontak, dan lain-lain, namun dalam Arja nama-nama itu tidak muncul lagi, cukup dengan sebutan Mantri Jenggala, Galuh Daha, Bayan, Sangit, Punta, Kartala, dan lain-lain. Bahkan akan sering dijumpai nama-nama seperti Leyeg, Melung, Megleg, yang disesuaikan dengan nama-nama dan alam Bali. Semula Arja dilakukan khusus oleh pemain laki-laki, namun dewasa ini wanita mempunyai kedudukan atau kehormatan untuk menjadi pelaku Arja. Bahkan sebagian besar pemain Arja sekarang adalah wanita, kecuali para penasarnya.
Sumber :
Judul buku :
Penulis : Prof. Dr. I Made Bandem dan Dr. Sal Murgiayanti
Penerbit : Kanisius
Tempat dan tahun terbit : Denpasar, 1 April 1996
0 komentar:
Posting Komentar